Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK (RGBK) menggelar webinar bertajuk “Remaja dan Gawai” pada Sabtu, 14 Mei 2022. Acara diikuti oleh ratusan guru dan pengajar dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi di Indonesia serta Timor Leste.
Webinar tersebut bertujuan memberikan wawasan kepada para guru tentang cara mengedukasi siswa dalam penggunaan gawai yang tepat. Sebagai narasumber, KGSB menghadirkan dua ahli di bidang psikologi dan pendidikan yaitu Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi/Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, Nanda Rosalia, M.Psi serta Founder Rumah Guru BK serta Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt.
Gawai, Pisau Bermanta Dua
Gawai kini telah menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat modern. Tidak lagi sekadar alat pelengkap gaya hidup (lifestyle), penggunaannya telah menjadi bagian dari cara hidup kita sehari-hari (way of life). Menurut laporan We Are Social pada Februari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta orang atau sekitar 73,7% dari total populasi. Dari jumlah tersebut, 96% mengakses internet melalui ponsel pintar.
Bagi remaja, gawai ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, fitur-fiturnya memberikan manfaat besar, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan dampak negatif jika tidak digunakan secara bijak. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2018 menunjukkan bahwa 65,34% pengguna internet di Indonesia adalah individu berusia 9–19 tahun. Dari kelompok usia ini, 93,52% menggunakan internet untuk mengakses media sosial, selain YouTube dan permainan daring.

Founder KGSB, Ruth Andriani, mengungkapkan bahwa gawai telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan remaja masa kini. “Selama pandemi, penggunaan internet dan gawai semakin meningkat di kalangan remaja. Dalam dunia pendidikan, kemajuan teknologi menuntut para guru untuk berperan aktif memberikan edukasi kepada siswa agar dapat menggunakan gawai secara bijaksana,” jelas Ruth.
Perihal sikap bijak bergawai ini, Nanda Rosalia, M.Psi., Psikolog Klinis dan Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, menyoroti bahwa sisi negatif gawai sering mendapat perhatian lebih dibandingkan sisi positifnya. Padahal, bagi generasi sekarang, melakukan sesuatu tanpa bantuan gawai terasa menghambat.
Nanda menyebut terdapat tiga bentuk utama pemanfaatan teknologi positif bagi remaja. Masing-masing adalah untuk :
- Kenikmatan Hidup : membuat diri merasa nyaman dan senang, seperti mendengarkan musik favorit atau bermain game.
- Pengembangan Diri : membuat diri merasa bermakna, misalnya belajar melalui YouTube atau Google, mengembangkan hobi, atau mengikuti e-training.
- Hubungan Sosial : terhubung dengan orang lain atau komunitas, seperti bersosial media atau berpartisipasi dalam penggalangan dana sosial.
Menurut Nanda, perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan sosioemosional turut memengaruhi kehidupan sosial remaja. Dalam hal ini, pengaruh teman sebaya sering kali lebih besar dibandingkan keluarga. “Teknologi dan media sosial kini menjadi sarana bagi remaja untuk menemukan jati diri mereka, terutama melalui lingkungan yang mereka anggap nyaman.”
Peran Guru Ajak Siswa Bijak Bergawai
Lebih lanjut, Nanda menekankan pentingnya peran guru dalam membimbing siswa memanfaatkan teknologi secara positif. Guru dapat memberikan tugas-tugas yang memanfaatkan teknologi, seperti menggunakan media sosial untuk pembelajaran. Guru harus memahami platform media sosial yang digunakan agar mudah diakses dan dipahami oleh siswa.
Namun, menjadi guru modern bukan hanya soal menguasai teknologi terbaru. Guru juga bertugas membangun rasa senang belajar yang mendorong daya pikir kritis dan kreativitas siswa. Di samping itu, guru harus tetap memberikan human touch agar siswa tetap memiliki kesantunan, empati, dan jiwa sosial.
Menyambung pernyataan Nanda, Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK sekaligus Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, menyoroti pentingnya peran guru dalam memantau penggunaan gawai oleh siswa.
Ana kemudian mengungkapkan hasil survei yang dilakukan oleh Gregoria Serra dari Unit of Pediatrics, Campus Bio-Medico University, Roma, Italia, pada Juli 2021. Survei ini melibatkan anak-anak Italia berusia 6–18 tahun dan menunjukkan adanya perubahan tujuan penggunaan smartphone selama pandemi COVID-19 dibandingkan masa sebelumnya.
Selama pandemi, smartphone digunakan terutama untuk menjaga koneksi sosial, mendukung pembelajaran, dan sebagai sarana hiburan. Namun, survei tersebut juga mengungkapkan peningkatan signifikan dalam penggunaan berlebihan dan kasus kecanduan gawai. Sebelum pandemi, jumlah anak yang kecanduan gawai lebih kecil dibandingkan anak yang berisiko tinggi kecanduan. Ironisnya, setelah pandemi, jumlah anak berisiko menurun, tetapi jumlah anak yang benar-benar kecanduan meningkat.
Ana menekankan bahwa guru perlu menyadari risiko yang terkait dengan penggunaan smartphone yang tidak tepat. “Salah satu tugas Guru BK adalah memantau, bekerja sama dengan orang tua, serta mengidentifikasi kemungkinan efek samping dari penggunaan smartphone. Hal ini mencakup mengenali tanda-tanda awal atau risiko tinggi kecanduan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Ana menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci dalam upaya memantau dan mengelola penggunaan gawai oleh siswa. Guru BK perlu melakukan intervensi yang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari penggunaan smartphone secara berlebihan terhadap kesehatan anak dan remaja.
“Fokus kita harus pada kesehatan anak dan remaja, yang mencakup upaya menjaga perkembangan fisik dan psikologis yang optimal, serta membangun hubungan sosial yang sehat,” pungkas Ana.