Program Roots yang digagas Kemendikbud Ristek RI bersama dengan UNICEF Indonesia untuk mengatasi bullying di sekolah terbukti efektif mengurangi tingkat perundungan hingga 30%. Seperti apa praktiknya?
Jakarta, 15 April 2023 – Bullying atau perundungan masih menjadi salah satu masalah serius di Indonesia, terutama di lingkungan sekolah. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk perundungan, hingga saat ini. Selain itu, antara 2016-2020, sebanyak 665 anak terlibat kasus hukum sebagai pelaku kekerasan, dengan rincian 506 melakukan kekerasan fisik dan 149 melakukan kekerasan psikis.
Laporan Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 mengungkapkan bahwa 41,1% siswa di Indonesia mengaku pernah menjadi korban bullying. Pada tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima dari 78 negara dengan kasus bullying tertinggi di sekolah. Sementara itu, survei oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa 2 dari 3 remaja pernah mengalami kekerasan, dengan 3 dari 4 kasus terjadi antar teman sebaya.
Dampak bullying dapat bersifat jangka panjang, mulai dari stres, depresi, hingga trauma. Selain itu, korban bullying juga dapat mengalami gangguan kesehatan dan penurunan performa akademis. Menyikapi persoalan ini, peran tenaga pendidik menjadi krusial dalam memberikan konseling yang tepat bagi korban untuk memitigasi dampaknya.
Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk Teknik Konseling kepada Korban Bullying di Sekolah pada Sabtu, 15 April 2023. Kegiatan ini diikuti oleh ratusan tenaga pendidik dari Indonesia dan Timor Leste, dengan menghadirkan tiga narasumber ahli. Masing-masing adalah Nanda Rossalia, M.Psi., Psikolog yang merupakan Sekretaris Program Studi S1 Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya. Lalu Ana Susanti, M.Pd., CEP., CHt. Founder Rumah Guru BK sekaligus Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat, Kemendikbud Ristek RI. Serta Manggar Istanti, S.Pd., M.Pd., Guru BK SMPN 2 Jayapura dan anggota KGSB.
Peran Sekolah sebagai Ruang Aman
Ruth Andriani, Founder KGSB, menyatakan bahwa kasus bullying, terutama yang melibatkan kekerasan fisik, semakin mengkhawatirkan. Padahal, lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat belajar yang aman dan menyenangkan bagi semua siswa.
“Peran tenaga pendidik sangat penting dalam membantu korban bullying melalui konseling yang tepat. Kami berharap upaya ini tidak hanya membantu mengatasi dampak bullying, tetapi juga mencegah dan memutus mata rantai perundungan di sekolah. Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar dan berkembang,” ujarnya.
Sesuai data dari Comparitech di tahun 2018, 82,8% kasus bullying terjadi di sekolah, menjadikan sekolah menjadi lokasi paling banyak terdapat kasus bullying. Oleh karena itu, Ana Susanti menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk menangani bullying di sekolah.
Ana memaparkan bahwa program Roots yang dikembangkan oleh Kemendikbud Ristek RI dan UNICEF sejak 2017 telah terbukti efektif mengurangi bullying hingga 30% di wilayah penerapan awal seperti Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Papua Barat. Program tersebut melibatkan teman sebaya untuk membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman.
Sementara itu, Nanda Rossalia memaparkan teknik konseling ABC irrational belief untuk membantu korban, saksi, maupun pelaku bullying. “Teknik ini mengenali pikiran negatif atau irrational belief dan mengubahnya menjadi rational belief, sehingga individu dapat menghadapi kejadian negatif dengan cara yang lebih konstruktif,” jelasnya.
“Untuk membantu korban bullying, seorang konselor harus memberikan konseling yang tepat dengan mengenali pikiran negatif apa yang dimiliki oleh korban, sehingga dampak buruk dari bullying dapat dihindari,” tegas Nanda.
Dengan memberikan konseling yang tepat dan melibatkan semua pihak terkait, diharapkan kasus bullying di sekolah dapat diminimalkan, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan mendukung bagi siswa.