Dengan lebih dari setengah kasus kekerasan di sekolah berupa kekerasan seksual yang melibatkan anak, diperlukan SOP yang jelas dan dukungan penuh dari guru untuk memutus rantai kekerasan. Langkah pencegahan dan penanganan yang berorientasi pada korban dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi seluruh siswa.
Jakarta, 25 Februari 2024 – Kekerasan seksual di sekolah yang melibatkan anak terus meningkat. Data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per Agustus 2023 menunjukkan bahwa dari 723 kasus kekerasan di satuan pendidikan, 487 kasus merupakan kekerasan seksual.
Dalam rangka memberikan panduan penanganan, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya menggelar webinar bertajuk “Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah” pada Sabtu, 24 Februari 2024. Webinar ini diikuti oleh 279 peserta, termasuk guru dari Indonesia dan Timor Leste.
Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menyatakan, “Peningkatan peran guru menjadi prioritas kami dalam memberikan edukasi terkait langkah-langkah tepat menangani kekerasan seksual di sekolah.”
Memahami SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah
Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual di sekolah diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. SOP ini menekankan prinsip Psychological First Aid (PFA) yang meliputi lima langkah utama: safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate.
Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKSP) STH Indonesia Jentera, Reny Rawasita Pasaribu, S.H., LL.M, menjelaskan, “Permendikbudristek PPKSP telah memberikan definisi yang jelas terkait berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ini untuk mendukung pencegahan dan penanganan yang efektif.”
Definisi kekerasan seksual, sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat 1 Permendikbudristek PPKSP, adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang akibat ketimpangan relasi kuasa atau gender. Perbuatan tersebut dapat menyebabkan penderitaan psikis, fisik, atau gangguan kesehatan reproduksi, serta menghilangkan kesempatan korban untuk menjalani pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud antara lain:
- Penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
- Perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
- Penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.
- Perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.
- Pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban.
- Perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio visual korban yang bernuansa seksual.
- Penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual.
Selain itu, masih terdapat belasan bentuk kekerasan seksual lainnya, termasuk percobaan perkosaan dan perdagangan manusia.

Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga memastikan tidak ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi serta penyediaan sarana dan prasarana.
Terkait dengan itu, dalam pasal 24 aturan tersebut terdapat ketentuan agar satuan pendidikan membentuk tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tugas tim ini meliputi penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan rekomendasi, dan tindak lanjut pemulihan.
“Nah di sinilah SOP menjadi sangat penting karena memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada TPPK dan Kepala Satuan Pendidikan. SOP juga menjamin proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi, dan semua pihak yang terlibat,” tambah Reny. Dengan adanya SOP, lingkungan pendidikan menunjukkan keseriusan dalam penanganan kekerasan seksual untuk memastikan kasus serupa tidak terulang.
Peran Guru sebagai Pendamping Korban
Ketua Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual Universitas Brawijaya, Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menekankan pentingnya peran guru dalam memutus rantai kekerasan seksual. Guru dapat bertindak sebagai pendamping (bystander) dengan menerapkan prinsip:

- Prioritas Pemulihan Korban: Mendampingi korban dengan persetujuan (informed consent).
- Tanpa Menghakimi: Memahami dampak trauma dan memberikan dukungan tanpa paksaan.
- Sensitivitas: Menempatkan diri pada posisi korban, mendengarkan, dan mengakui perasaan korban.
Guru juga harus memahami berbagai jenis kekerasan seksual serta landasan hukumnya. Modul panduan, seperti https://s.ub.ac.id/panduanpfa)-3L dan modul PPKS https://s.ub.ac.id/bukupanduanppks) dapat membantu guru meningkatkan kompetensi.
Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd, mengimbau agar guru proaktif mencegah kekerasan seksual melalui pembelajaran, pelibatan diri, dan menjadi inisiator perubahan. Sebagai pamungkas, Ulifa mengajak seluruh pelaku dunia pendidikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dengan meningkatkan kesadaran seluruh civitas akademika.