Ragam Karakter, Ragam Pendekatan Siswa

Di ruang kelas yang sederhana, Bu Anisa duduk termenung di meja guru. Pagi itu, ia baru saja selesai mengajar, tapi pikirannya masih sibuk mengingat satu per satu wajah muridnya. Ada Rafi yang selalu mengacungkan tangan lebih dulu saat diskusi. Ada Dinda yang gemar menyendiri sambil menggambar bunga di pojok bukunya. Ada juga Luki yang tak bisa duduk tenang lebih dari sepuluh menit.

“Mereka begitu berbeda,” gumamnya pelan. “Dan aku belum tentu memahami mereka semua.”

Sebagai guru, Bu Anisa tahu bahwa setiap anak adalah dunia yang utuh—penuh warna, irama, dan ritme masing-masing. Tapi selama ini, ia cenderung memakai kunci yang sama untuk membuka semua pintu: metode ajar tunggal, pendekatan seragam, harapan serupa.

Hasilnya? Ada yang bersinar, tapi ada juga yang pelan-pelan memudar.

Hari itu, ia memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Ia mulai mempelajari karakteristik siswa berdasarkan teori psikologi pendidikan dan pendekatan pembelajaran diferensiasi. Di sinilah cerita barunya dimulai.

Satu Kelas, Banyak Dunia

Dalam kelas Bu Anisa, kini ia mulai melihat bahwa:

  • Rafi, si aktif dan percaya diri, adalah seorang ekstrovert (Jungian Personality Theory). Ia butuh ruang untuk bersuara dan memimpin. Maka Bu Anisa memberinya peran sebagai moderator diskusi dan ketua kelompok.
  • Dinda, si pendiam yang suka menggambar, cenderung introvert dan memiliki kecerdasan visual-spasial (Gardner, 1983). Ia lebih nyaman menulis daripada berbicara. Bu Anisa mulai memberi tugas yang bisa disampaikan secara tertulis dan memberinya waktu untuk berpikir sebelum menjawab.
  • Luki, yang selalu gelisah jika harus duduk terlalu lama, ternyata seorang pembelajar kinestetik. Ia belajar dengan melakukan dan butuh bergerak untuk bisa fokus (Tomlinson, 2001). Bu Anisa mengajaknya memegang alat peraga atau mendemonstrasikan materi dengan simulasi.
  • Ada juga Nina, yang sering bertanya “Kenapa harus begitu?”, adalah tipe logis-matematis (Gardner). Ia merasa tenang bila penjelasan disertai alasan dan struktur. Maka Bu Anisa menambahkan bagian “logika di balik pelajaran” di setiap kelas.
  • Lain lagi dengan Ayu, yang kreatif luar biasa dalam menggambar dan bercerita, memiliki kecerdasan kreatif dan imajinatif. Ia cocok diberi ruang untuk mengekspresikan diri lewat proyek seni dan tugas naratif.
  • Tak ketinggalan Tio, yang selalu membantu teman dan senang bekerja dalam kelompok, menunjukkan kecerdasan interpersonal dan pendekatan kolaboratif (Goleman, 1995). Ia cocok menjadi mentor sebaya dan penggerak kegiatan kelompok.

Dan ada Rara, yang selalu menyelesaikan tugas lebih awal tanpa disuruh. Ia tipe mandiri dan terorganisir, yang menikmati tugas-tugas individual. Untuk anak yang menunjukkan ciri pembelajar intrapersonal dan tahu cara mengatur dirinya sendiri seperti ini, Bu Anisa memberi tantangan tambahan yang lebih menantang.

Terakhir, ada Alfa, yang mudah cemas dan sangat peka terhadap komentar. Anak yang mudah menangis jika merasa tidak dimengerti, ternyata memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggai tapi juga mudah goyah (Goleman). Ia sangat emosional dan sensitif. Untuknya, Bu Anisa menyikapi dengan empati, komunikasi lembut, dan afirmasi yang membangun.

Perlahan, kelas Bu Anisa berubah. Suasana jadi lebih hidup, lebih personal, lebih manusiawi. Ia tidak lagi mengejar keseragaman, tapi memeluk keberagaman. Ia sadar, menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tapi soal mengenali.

Karena sesungguhnya, setiap anak adalah kunci—dan tugas kita adalah menemukan lubangnya masing-masing, bukan memaksakan satu gembok untuk semua.

Guru yang Belajar

Pendekatan Bu Anisa tidak muncul begitu saja. Ia belajar dari teori Multiple Intelligences oleh Howard Gardner yang menekankan bahwa tiap anak punya cara belajar yang berbeda, bukan hanya soal pintar atau tidak pintar. Ia juga membaca tentang pentingnya diferensiasi pembelajaran dari Carol Ann Tomlinson, yang mengajak guru menyesuaikan materi, proses, dan produk belajar sesuai karakter siswa.

Tak ketinggalan, ia mengenal teori Daniel Goleman tentang kecerdasan emosional, yang membuatnya lebih sadar akan pentingnya memahami perasaan siswa, bukan hanya nilainya.

Kisah Bu Anisa bisa jadi kisah siapa saja di antara kita, para guru yang ingin lebih dekat dengan murid-muridnya. Tak perlu revolusi besar, sahabat-sahabat guru hebat bisa memulainya dengan :

  • Mengamati karakter siswa, bukan hanya nilai atau sikapnya.
  • Mencatat pola kecil: siapa yang senang bicara, siapa yang mendengarkan.
  • Mencoba pendekatan yang bervariasi: diskusi, praktik, gambar, tulisan.
  • Mengajak rekan guru untuk saling berbagi pengalaman karakter siswa.
  • Membuka ruang dialog dengan orang tua tentang keseharian anak di rumah.

Karena saat kita mengenali siswa, kita sedang memanusiakan proses belajar. Dan dari sanalah pendidikan yang utuh dimulai.

📚 Referensi:

  • Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.
  • Tomlinson, C. A. (2001). How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms.
  • Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence.
  • Jung, C.G. (1921). Psychological Types – dasar dari teori MBTI.
  • Materi Psikologi Pendidikan dan Kurikulum Merdeka Kemdikbudristek RI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Recent Posts

Category

© 2023 Copyrights  kgsb.org