by : Diana Bakti Siregar, S.Si *)
Kadang guru duduk di sudut kelas, memperhatikan satu per satu wajah siswa.
Beberapa penuh tawa, beberapa penuh cerita…
dan beberapa tampak diam, menyimpan sunyi yang berat di mata mereka.
Mereka bukan anak sembarangan.
Ada yang anak tokoh masyarakat, anak pejabat tinggi, anak pemimpin yang kiprahnya dikenal nasional.
Di mata luar, hidup mereka terlihat lengkap, karena memiliki orang tua hebat.
Tapi dari dekat, kita bisa melihat ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan jabatan, popularitas, atau prestasi apa pun.
Ada yang mudah panik.
Ada yang menarik diri dari pergaulan.
Ada yang takut bertemu orang.
Ada yang datang ke sekolah dengan wajah tanpa cahaya dan pakaian tak terurus.
Ada yang meledak emosinya karena terlalu lama memendam.
Dan orang-orang bertanya:
“Kenapa dia seperti itu? Bukankah orang tuanya hebat.”
Mungkin jawabannya sederhana:
Karena yang mereka butuhkan bukan orang tua yang hebat di mata dunia,
tapi orang tua yang hadir di mata mereka.
Sebagai guru, kita bisa belajar untuk duduk lebih dekat,
mendengar tanpa mengoreksi,
menenangkan tanpa menghakimi,
memeluk tanpa menggurui.
Tapi kita juga harus belajar satu hal penting:
tetap adil.
Jangan sampai anak dari pejabat diberi perhatian penuh,
sementara anak dari keluarga biasa dibiarkan menanggung sedih sendirian.
Setiap anak berhak dilihat—setara, apa pun latar belakangnya.
Anak yang disebut “bermasalah” bukan masalah.
Ia hanya sedang mengirim pesan sunyi:
“Ada ruang kosong dalam diri saya, tolong jangan biarkan tetap kosong.”
Dan kadang,
yang mereka butuhkan bukan terapi mahal,
bukan sekolah baru,
bukan hukuman,
bukan ceramah panjang.
Hanya satu hal:
Ayah duduk di sampingnya.
Ibu menatap matanya.
Guru menggenggam tangannya.
Dan dunia berkata:
“Kamu tidak sendiri.”
Karena masa depan anak tidak dibangun oleh pangkat orang tua,
tapi oleh kehadiran hati mereka.
Dan di sekolah,
guru bisa menjadi jendela itu,
orang tua menjadi rumahnya.
*) Praktisi Pendidikan dan Talents Mapping
