Bagaimana Mengembalikan Minat Belajar Matematika?

Share this article

Membaca Anjloknya TKA 2025 dengan Kacamata yang Lebih Utuh

Pernyataan Menteri Dikdasmen Abdul Mu’ti bahwa rendahnya nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) Matematika bukan karena murid “goblok”, tetapi karena cara mengajar dan buku yang kurang mendorong mereka belajar, memantik gelombang respons di ruang publik. Sebagian menilai kritik itu tepat, sebagian lain merasa guru kembali dijadikan kambing hitam.

Namun persoalan ini jauh lebih kompleks daripada sekadar kualitas buku atau metode mengajar. Untuk membaca situasinya secara jernih, kita perlu memadukan data nasional dan kesaksian langsung guru di lapangan.

Kohort 2025: Generasi dengan Luka Pembelajaran yang Belum Pulih

Siswa kelas 12 hari ini adalah generasi yang pada 2020 duduk di kelas 7—fase krusial transisi dari berpikir konkret ke abstrak. Pada masa itu seharusnya fondasi aljabar, pemodelan, dan logika simbolik ditanamkan melalui interaksi intens dengan guru.

Pandemi memutus fase itu secara tiba-tiba.  Laporan World Bank (2021) menunjukkan Indonesia mengalami learning loss setara 18–27 bulan pembelajaran. UNESCO (2022) menyebut situasi ini sebagai “gangguan pendidikan terbesar dalam sejarah modern.”

Anak-anak ini bukan tidak mampu. Mereka membawa beban historis yang sistem pendidikan belum benar-benar pulihkan.

Seorang guru matematika dan pelatih olimpiade –yang menulis refleksi panjang di Facebook pada November 2025, menguatkan gambaran itu. Ia menyebut angkatan 2025 sebagai “Kohort Pandemi”, generasi yang “papan tulisnya berubah menjadi layar 5 inci ketika mereka seharusnya belajar logika aljabar.”

Ia menggambarkan bagaimana siswa kehilangan deep focus, cepat terdistraksi, cepat lupa, dan terbiasa multitasking selama dua tahun sekolah daring. Dalam catatannya ia menulis:  “Mereka bukan goblok. Mereka hanya dipaksa berlari maraton setelah kaki mereka patah lima tahun lalu dan tidak pernah direhabilitasi dengan benar.”

Kesaksian seperti ini penting karena memperlihatkan jarak antara data kebijakan dan denyut kelas nyata.

Tiga Faktor Kunci Penyebab Rendahnya TKA

Dari analisis data dan keterangan guru lapangan, ada tiga penyebab utama yang tidak boleh diabaikan:

1. Kurikulum Darurat vs. TKA Standar Tinggi

Pada 2020–2021, pemerintah menerapkan Kurikulum Darurat yang memangkas materi (Kemendikbudristek, 2020). Materi yang seharusnya memperkuat nalar abstrak dikurangi signifikan untuk meringankan beban psikologis siswa.

Namun TKA 2025 menggunakan standar HOTS yang mengasumsikan fondasi itu utuh. Terjadi mismatch struktural yang tidak bisa dijembatani dengan cepat.

2. Distraksi Digital dan Erosi Kemampuan Konsentrasi

Riset KPAI (2021) dan temuan OECD (2023) menunjukkan betapa kuatnya efek distraksi digital terhadap stamina berpikir siswa pasca-pandemi. Hal yang sama dilaporkan Bu Guru di Facebook: banyak siswa hadir secara fisik, tetapi mentalnya tidak fokus, terbiasa berpindah aplikasi, dan cepat kehilangan alur logika.

3. Hilangnya Standar Penanda Setelah UN

Penghapusan UN memang bijak secara psikologis, tetapi meninggalkan kekosongan standar akademik eksternal. Selama tiga tahun masa pandemi, banyak siswa naik kelas tanpa seleksi ketat. Ketika harus menghadapi TKA yang serius, wajar jika mereka tergagap.

Lima Langkah Realistis Agar Siswa Mencintai Matematika

Tetapi, kritik Pak Menteri tidak sepenuhnya keliru. Poin penting dari pernyataan Menteri adalah bahwa pembelajaran matematika memang perlu diperbaharui.  Bukan untuk menyalahkan guru, tetapi untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru murid. Jika tujuan kita adalah membuat siswa mencintai matematika—menikmati proses dan merasa tertantang—maka kelas matematika tidak bisa kembali ke pola lama.

Langkah apa yang harus ditempuh? Berikut beberapa langkah yang bisa Sahabat Guru Hebat ambil untuk mengajak siswa mencintai matematika.

1. Ciptakan Ruang Belajar yang Aman untuk Salah.  Anak tidak akan mencintai apa yang ia takuti.  Guru perlu menciptakan budaya eksplorasi, bukan budaya malu.

2. Ajarkan Pola dan Makna, Bukan Hanya Rumus.  Matematika menjadi menyenangkan ketika anak melihat mengapa sesuatu bekerja, bukan hanya bagaimana mengerjakannya.

3. Pulihkan Stamina Berpikir Secara Bertahap. Siswa pandemi kehilangan kemampuan fokus panjang. Pemecahan masalah bertahap perlu menjadi standar baru.

4. Buat Matematika Relevan dengan Kehidupan.  Ketika anak melihat matematika dalam data, harga, jarak, peluang, dan pola sehari-hari, mereka merasa lebih dekat dan tertarik.

5. Kendalikan Distraksi Digital Bersama Orang Tua. Guru tidak akan menang melawan TikTok jika orang tua tidak ikut membantu.

Ini Bukan Tentang Menuding, Tapi Memulihkan

Angkatan 2025 bukan gagal.  Guru bukan gagal.  Yang gagal adalah sistem yang belum menutup luka pandemi, tetapi tergesa menuntut hasil baru.

Membuat siswa mencintai matematika berarti mengembalikan ruang aman untuk berpikir, memulihkan fondasi yang hilang, dan merancang pengalaman belajar yang membuat mereka ingin mencoba, bukan takut salah.

Karena matematika bukan sekadar angka. Ia adalah proses latihan logika, kesabaran, dan cara melihat dunia. Dan untuk mencintainya, setiap anak perlu diberi kesempatan untuk tumbuh kembali—bersama guru, orang tua, dan sistem yang lebih peka terhadap sejarah mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Recent Posts

  • All Post
  • Berita
  • Kegiatan Anggota
  • Kegiatan KGSB
  • KGSB Berbagi
    •   Back
    • Kegiatan dan Karya Anggota

Category

© 2023 Copyrights  kgsb.org