Rekomendasikan standarisasi kebijakan sosialisasi yang melibatkan pendekatan multidisipliner, pelatihan guru, serta harmonisasi nilai inklusif dan budaya lokal, dengan materi edukatif yang terstruktur untuk mendukung pemahaman dan intervensi yang efektif di sekolah.
Senin, 17 Februari 2025 – Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk “Fenomena LGBT di Kalangan Generasi Muda, Tantangan dan Peran Pendidikan”, yang dihadiri lebih dari 200 guru dari 30 provinsi serta orang tua murid. Selain itu, dipaparkan juga hasil pra-survei internal KGSB yang menggambarkan pandangan dan pengalaman guru terkait sosialisasi dan edukasi mengenai fenomena LGBT di sekolah.
Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Founder Rumah Guru BK & Widyaiswara di PPSDM Kemdikdasmen Ana Susanti, M.Pd., CEP., CHt., serta dosen Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., Psikolog,.
Dalam sambutannya, Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menegaskan pentingnya webinar ini dalam memberikan wawasan bagi pendidik dan orang tua tentang fenomena LGBT serta bagaimana dunia pendidikan dapat berperan dalam menanganinya. “Kami berharap forum ini menjadi wadah diskusi yang konstruktif guna merumuskan pendekatan yang lebih efektif dan humanis dalam pendidikan,” ujarnya.
Survei KGSB: Semakin Banyak Sekolah Lakukan Edukasi tentang Fenomena LGBT
Founder KGSB Ruth Andriani, menyoroti bahwa fenomena LGBT merupakan isu sensitif, tetapi tidak bisa diabaikan. Survei internal yang dilakukan KGSB pada 3-11 Februari 2025 terhadap 200 responden dari 30 provinsi menunjukkan keberagaman pandangan guru. Sebagian besar menunjukkan sikap penolakan, namun juga terdapat sikap yang netral dan sedikit penerimaan.
Hasil survei menunjukkan bahwa 56,5% sekolah telah melakukan sosialisasi terkait fenomena LGBT dalam berbagai bentuk. Mayoritas sosialisasi dilakukan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) dan pendekatan berbasis agama. Sementara 43,5% sekolah lainnya belum memiliki program sosialisasi khusus, umumnya karena menunggu arahan dari pemerintah atau hanya menyisipkan materi dalam pembelajaran lain seperti pacaran sehat atau kesehatan reproduksi.
Sekolah yang telah melakukan sosialisasi menerapkan berbagai metode, seperti diskusi kelompok dalam layanan BK, seminar dengan narasumber eksternal seperti psikolog dan lembaga perlindungan anak, serta penyuluhan dalam bentuk ceramah dan debat di kelas. Beberapa sekolah juga mengintegrasikan materi LGBT dalam mata pelajaran seperti kesehatan reproduksi dan kajian agama, sementara sebagian lainnya mengandalkan media kampanye seperti poster, pamflet, dan video edukatif.
“Perbedaan pendekatan ini mencerminkan perlunya standar kebijakan yang lebih jelas bagi sekolah dalam menangani isu LGBT,” ujar Ruth memberi penegasan.

Fenomena LGBT dan Tantangan di Dunia Pendidikan
Dalam paparannya, Widyaiswara di PPSDM Kemdikdasmen Ana Susanti, M.Pd., CEP., CHt., menjelaskan bahwa fenomena LGBT di kalangan generasi muda semakin meningkat akibat berbagai faktor seperti perubahan norma sosial, eksposur media, dan faktor psikologis. Ia menegaskan pentingnya memahami penyebab dan dampaknya agar pendidik dan orang tua dapat memberikan bimbingan yang tepat.
Mengutip berbagai referensi, menurutnya ada beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan LGBT pada individu. Antara lain ketidakseimbangan hormon dalam tubuh, lingkungan sosial dan pergaulan yang memberikan pengaruh terhadap orientasi seksual, serta pengalaman traumatis seperti kekerasan atau pelecehan yang dapat menjadi pemicu.
Psikolog Ulifa Rahma menjelaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi faktor yang kompleks, termasuk aspek biologis, psikologis, dan sosial. Faktor sosial yang berperan mencakup pola asuh keluarga, dinamika lingkungan, serta tingkat dukungan emosional yang diterima individu. Ia juga menyoroti pentingnya peran guru dan orang tua dalam memahami serta mendukung perkembangan psikososial anak.
Beberapa tanda yang dapat dikenali meliputi perubahan dalam interaksi sosial yang mencerminkan eksplorasi identitas diri, tingkat kecemasan atau tekanan emosional yang meningkat, serta keterlibatan terhadap komunitas tersebut. Namun, tanda-tanda ini tidak bersifat universal dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu serta lingkungan sosial.

Ana Susanti juga menyoroti dampak yang dapat timbul akibat paparan LGBT pada siswa. Antara lain terganggunya kesehatan mental individu, penurunan prestasi akademik akibat tekanan psikologis. Selain itu, risiko menerima diskriminasi dan isolasi sosial juga dapat dialami oleh mereka yang teridentifikasi sebagai LGBT.
Strategi Pendidikan dalam Menyikapi Fenomena LGBT
Sebagai garda terdepan dalam pendidikan, guru dan sekolah, dengan dukungan dan peran dari orang tua, memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan LGBT di kalangan generasi muda. Ana Susanti menegaskan bahwa meskipun fenomena ini menjadi tantangan, dunia pendidikan dapat mengambil peran strategis dalam memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa, guru, dan orang tua.
Salah satu langkah yang bisa diterapkan adalah menanamkan nilai-nilai agama dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Juga mendorong kebersamaan dan interaksi sosial yang sehat melalui gotong royong, serta membangun sikap saling menghargai tanpa diskriminasi, namun tetap dalam koridor norma yang berlaku.

Selain itu, guru dan sekolah memiliki peran penting dalam memberikan pendampingan kepada siswa dengan membangun komunikasi yang baik. Juga mencegah diskriminasi di lingkungan sekolah, melibatkan guru BK dalam proses bimbingan, serta menyediakan layanan konseling bagi siswa yang membutuhkan bimbingan lebih lanjut.
Ulifa Rahma menekankan bahwa orang tua memiliki peran krusial dalam membentuk pemahaman anak terhadap identitas diri sejak dini. Dukungan dapat diberikan melalui pengawasan yang bijak tanpa tekanan berlebihan, komunikasi dua arah, pola asuh otoritatif, penciptaan lingkungan keluarga yang harmonis, serta pencegahan kekerasan dalam rumah tangga yang berpotensi merugikan kondisi psikologis anak. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat juga berperan penting. Program edukasi dari puskesmas, kegiatan sekolah, kerja sama aktif antara orang tua dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, sehingga remaja dapat memahami identitas mereka dengan sehat dan positif.
Kesimpulan dan Rekomendasi Webinar
Sebagai hasil dari webinar, KGSB mengusulkan beberapa langkah konkret untuk memperkuat strategi komunikasi dan edukasi di sekolah:
- Standarisasi Kebijakan Sosialisasi – Pemerintah dan sekolah perlu menyusun panduan yang jelas dalam menyampaikan materi LGBT agar tidak menimbulkan kebingungan atau resistensi di kalangan guru dan siswa.
- Pelatihan Guru – Guru perlu dibekali keterampilan komunikasi yang baik dalam mendampingi siswa terkait isu LGBT, dengan mengutamakan pendekatan multidisipliner yang mencakup aspek psikologi, akademik, dan sosial.
- Harmonisasi Nilai Inklusif dan Budaya Lokal – Pendidikan perlu menyeimbangkan nilai-nilai kebangsaan, moral, dan budaya lokal agar materi yang diberikan dapat diterima secara luas.
- Materi Edukatif yang Terstruktur – Pembuatan modul edukasi yang dapat digunakan oleh guru, konselor, dan orang tua dalam mendampingi siswa dalam memahami fenomena LGBT secara lebih objektif.
Dengan adanya strategi komunikasi dan edukasi yang tepat, dunia pendidikan diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih baik bagi siswa, sehingga mereka dapat menghadapi fenomena LGBT dengan perspektif yang kritis, terbuka, dan tetap berlandaskan pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.