KGSB mendorong guru untuk aktif mendampingi siswa dan mencegah putus sekolah melalui pendekatan psikososial. Kolaborasi sekolah, keluarga, dan pemerintah diharapkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung dan menekan angka putus sekolah.
Jakarta, 24 Juni 2023 – Fenomena putus sekolah di Indonesia terus meningkat, sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2022, angka putus sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA mengalami kenaikan, dengan faktor utama berupa masalah ekonomi, motivasi belajar rendah, serta konflik keluarga.
Pada tahun 2022, angka putus sekolah di jenjang SD mencapai 0,13%, meningkat 0,01% dari tahun 2021. Di jenjang SMP, angka tersebut mencapai 1,06%, naik 0,16% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara di jenjang SMA, angka putus sekolah mencapai 1,38%, meningkat 0,26% dari tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, data ini mengindikasikan bahwa terdapat 13 anak dari setiap 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang SMA.
Menanggapi kondisi yang memprihatinkan tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertema “Mencegah dan Menangani Remaja Putus Sekolah Melalui Konseling Psikososial,” melibatkan para ahli di bidang pendidikan dan konseling. Webinar menghadirkan Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK, serta Yuliezar Perwira Dara, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Dosen Universitas Brawijaya. Mereka membahas langkah prevensi dan intervensi untuk mengurangi angka putus sekolah.
Perlu Prevensi, Intervensi dan Kolaborasi
Founder KGSB, Ruth Andriani, menegaskan bahwa masalah putus sekolah memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, terutama guru sebagai garda terdepan. “Sebanyak 81% guru anggota KGSB melaporkan memiliki siswa yang putus sekolah. Penyebab utamanya meliputi pengaruh lingkungan yang buruk, kurangnya motivasi belajar, dan kondisi keluarga yang tidak harmonis. Kami berharap kegiatan ini dapat menjadi solusi sekaligus mendorong para guru untuk bertindak nyata dalam mencegah siswa putus sekolah,” ungkap Ruth.
Sementara itu, berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 oleh BPS, sebanyak 76% keluarga mengakui alasan putus sekolah anaknya adalah faktor ekonomi. Dari angka tersebut, 67% disebabkan ketidakmampuan membayar biaya sekolah, sementara 8,7% lainnya karena anak harus bekerja untuk membantu keluarga.
Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya, Yuliezar Perwira Dara, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa penyebab putus sekolah tidak hanya berasal dari faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain. Di antaranya pernikahan dini, bullying, kurangnya motivasi, rendahnya kesadaran siswa dan orang tua terhadap pentingnya pendidikan, hingga keragaman atau heterogenitas siswa yang memicu perilaku maladaptif.
Untuk menangani masalah tersebut, diperlukan dua jenis pendekatan yakni prevensi untuk mencegah masalah sebelum terjadi dan intervensi untuk mengatasinya jika sudah terjadi. Prevensi dapat dilakukan melalui empat langkah utama. Pertama, melakukan identifikasi dini terhadap siswa yang berisiko putus sekolah dengan melihat sikap, perilaku, dan kedisiplinan di sekolah. Kedua, memberikan pendampingan intensif oleh guru atau lingkungan siswa. Ketiga, melaksanakan psikoedukasi berupa pembekalan kepada siswa agar terhindar dari faktor-faktor penyebab putus sekolah. Keempat, memberikan pelatihan atau keterampilan hidup sesuai dengan minat siswa.
Intervensi, di sisi lain, dapat dilakukan melalui konseling baik secara individu maupun kelompok. Konseling ini melibatkan siswa, keluarga, teman sebaya, dan pihak sekolah. Pendekatan ini bertujuan untuk menekan angka putus sekolah sekaligus meningkatkan kesejahteraan psikologis serta kualitas siswa.
Yuliezar juga menekankan pentingnya pendekatan psikososial dalam pencegahan dan penanganan putus sekolah. Guru dapat menggali faktor internal siswa, seperti identifikasi masalah, peningkatan harga diri, GRIT (passion dan kegigihan), resiliensi, efikasi diri, gambaran masa depan, hingga pilihan karier. Sementara itu, pada faktor eksternal, perhatian dapat diarahkan pada dukungan sosial dari lingkungan, peran sekolah dalam menciptakan suasana yang nyaman, bantuan sosial ekonomi, kunjungan rumah (home visit), serta pengembangan keterampilan sosial seperti komunikasi asertif.
“Konselor atau guru yang baik harus mampu membangun hubungan positif dengan siswa, menerapkan konseling yang berfokus pada siswa, memiliki empati, memberikan perhatian positif tanpa pamrih, serta bersikap tulus dan terbuka,” ujar Yuliezar.
Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt., menegaskan bahwa guru Bimbingan Konseling (BK) memiliki peran penting dalam mengenali siswa yang berpotensi putus sekolah. “Guru BK dapat melakukan asesmen dengan mengumpulkan data terkait bakat dan minat siswa. Data ini mencakup kehadiran, perilaku di sekolah, serta perkembangan akademik siswa. Hal terpenting adalah guru harus mampu meyakinkan siswa tentang dampak yang mungkin terjadi jika mereka memutuskan untuk berhenti sekolah,” ujar Ana.
Inspirasi dari Inovasi Lokal
Untuk menangani fenomena kasus putus sekolah, kita bisa melihat program Siswa Asuh Sebaya (SAS) dan Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh) yang diterapkan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Program-program tersebut berhasil membantu ribuan siswa kembali bersekolah sehingga meraih penghargaan nasional. Bagaimana penjabaran programnya, ikuti informasi kami selanjutnya.