KGSB Dorong Tenaga Pendidik Menemukenali dan Terapkan Pengajaran Inklusi yang Tepat Bagi Siswa ABK
Jakarta, 5 Maret 2023. Berdasarkan data Kemenko PMK yang dirilis pada Juni 2022, jumlah anak penyandang disabilitas usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai 3,3% dari total penduduk kelompok usia tersebut, yakni sekitar 2,2 juta jiwa. Namun, data Kemendikbud Ristek per Agustus 2021 menunjukkan hanya 12,26% dari mereka yang menempuh pendidikan formal melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah inklusif. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam akses pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Untuk menjawab tantangan tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bersama Rumah Guru BK (RGBK) menyelenggarakan webinar bertema “Konseling Bagi Keluarga dan Anak Berkebutuhan Khusus” pada 4 Maret 2023. Webinar ini menghadirkan narasumber Unita Werdi Rahajeng, S.Psi., M.Psi., psikolog dari Universitas Brawijaya, dan Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt, Founder RGBK sekaligus Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat.
Pemahaman dan Praktik Inklusi
Webinar diikuti oleh ratusan tenaga pendidik dari PAUD hingga perguruan tinggi, serta orang tua siswa ABK dari Indonesia dan Timor Leste. Salah satu bahasan utama adalah bagaimana menemukenali siswa ABK dan mengimplementasikan metode pengajaran inklusif yang efektif.
Ruth Andriani, Founder KGSB, menegaskan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua dalam mendukung pendidikan ABK. “Kami berharap webinar ini bisa menginspirasi pendidik dan orang tua agar mampu menerapkan pengajaran inklusi dengan metode yang tepat. Layanan bimbingan konseling bertujuan agar ABK dapat berkembang sesuai kemampuan dan potensinya,” ujarnya.
Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., menjelaskan bahwa pendidikan inklusif merupakan paradigma baru yang mengharuskan sistem sekolah menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan belajar peserta didik. Namun, salah satu tantangan utama bagi sekolah reguler yang mulai menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah kesulitan dalam mengidentifikasi atau menemukenali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di lingkungan mereka.
Menemukenali ABK adalah langkah awal yang penting untuk memahami kondisi seorang anak, termasuk kelainan atau penyimpangan dalam aspek fisik, intelektual, sosial, emosional, atau sensoris neurologis. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut dengan anak-anak seusianya.
Langkah awal menemukenali dapat dilakukan dengan mengamati perbedaan sederhana, seperti anak balita yang tidak melalui fase merangkak, kontrol emosi yang buruk dengan sering tantrum, atau hambatan dalam mengenali huruf, benda, dan angka. Setelah proses awal ini, langkah berikutnya adalah melakukan asesmen lebih mendalam oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, atau terapis. Salah satu jenis asesmen yang penting adalah asesmen untuk menggali potensi unik dari setiap ABK.
“Dari hasil menemukenali ABK, kita dapat mengumpulkan data untuk menghimpun informasi penting. Data ini sangat dibutuhkan untuk mengenali potensi masing-masing ABK, sehingga metode pengajaran yang tepat dapat dirancang,” ujar Ana.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua dalam proses ini. “Saya berharap kita semua, terutama para orang tua, dapat menjadi pihak yang berdaya dalam mendukung anak-anak kita tanpa merasa malu akan kondisi mereka. Karena sejatinya, setiap anak itu istimewa dan memiliki kelebihan yang unik,” tambahnya.
Tantangan dan Harapan untuk Pendidikan Inklusi
Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya, Unita Werdi Rahajeng, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat terpenuhi jika didukung dengan aksesibilitas dan akomodasi yang memadai. Aksesibilitas diperlukan untuk memastikan bahwa ABK mendapatkan kesempatan dan dukungan yang setara dengan warga negara lainnya, seperti penerapan Universal Design for Learning (UDL). Sementara itu, akomodasi penting untuk memberikan kesempatan yang setara meskipun metode yang digunakan berbeda. Contohnya adalah penyediaan penjelasan dalam bahasa isyarat untuk siswa Tuli agar mereka dapat memahami materi yang disampaikan di sekolah.
“Peran sekolah sangat penting sebagai mitra keluarga dalam mendukung pengasuhan ABK. Sekolah juga dapat mengadvokasi hak-hak ABK serta memberdayakan mereka dan keluarganya,” ujar Unita. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dari semua pihak untuk bersama-sama memberikan layanan pendidikan yang setara bagi ABK.
Unita juga mendorong guru agar menjadi pelopor dalam inisiatif ini. “Kiranya guru dapat menginisiasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas di masing-masing sekolah. Hal ini akan menjadi langkah awal yang konkret untuk mendukung kebutuhan ABK,” tambahnya saat menyampaikan paparannya dalam webinar “Konseling Bagi Keluarga dan ABK.”
Peserta webinar, Aulianti, Guru BK dari SMAN 76 Jakarta, menyampaikan apresiasi atas program ini. “Saya bersyukur dapat mengikuti kegiatan yang sangat bermanfaat dalam memahami anak-anak spesial. Sebagai Guru BK, saya akan mengembangkan program layanan khusus untuk menggali potensi ABK bersama orang tua,” ujarnya.
Melalui webinar ini, KGSB dan RGBK berharap dapat meningkatkan pemahaman tenaga pendidik dan orang tua, sekaligus mendorong terciptanya pendidikan inklusi yang lebih baik di Indonesia. ***
.