Bagaimana mengenali tanda-tanda suicide attempt yang sering terjadi pada remaja dan apa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?
Jakarta, 17 Desember 2023 – Kasus bunuh diri, yang kini semakin marak terjadi, menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, terutama di kalangan remaja. Data menunjukkan hampir setengah dari pelaku bunuh diri berusia remaja, dengan angka yang terus meningkat. Untuk itu, sangat penting bagi kita semua untuk mengenali gejala-gejala bunuh diri pada remaja dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang efektif.
Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) mengadakan webinar bertajuk “Literasi Kesehatan Mental untuk Pencegahan Kasus Bunuh Diri pada Remaja” pada Sabtu, 16 Desember 2023. Webinar itu diadakan dalam rangka merayakan ulang tahun kedua KGSB dan bertujuan memberikan solusi konkret untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di kalangan pendidik.
Webinar menghadirkan dua narasumber ahli, yaitu Ulifa Rahma, S.Psi, M.Psi, Psikolog dan Dosen Prodi Psikologi dari FISIP Universitas Brawijaya, serta Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di Kemendikbud Ristek RI. Para peserta yang terdiri dari lebih 200 orang, termasuk guru, mahasiswa, dan orang tua, mendapatkan wawasan dan solusi dalam upaya preventif terhadap tingginya angka bunuh diri remaja.
Tantangan Kesehatan Mental Remaja
Menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023), tercatat lebih dari 2.100 kasus bunuh diri, dengan hampir 1.000 di antaranya melibatkan remaja. Secara global, data dari WHO 2019 juga menunjukkan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di kalangan remaja usia 15-29 tahun.
Survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada 2022 menambah kecemasan. Dari sejumlah responden yang mereka survei terungkap, 1,4% remaja mengaku memiliki ide untuk bunuh diri, 0,5% sudah merencanakan, dan 0,2% telah melakukan percobaan bunuh diri.
Masalah kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan kecemasan, menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja. Hasil survei I-NAMHS menunjukkan bahwa 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental (sering disebut orang dengan gangguan jiwa ODGJ oleh orang-orang di sekitarnya), dan lebih dari sepertiga lainnya (34,9%) menunjukkan tanda-tanda masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Ana Susanti, Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di Kemendikbud Ristek RI memaparkan, faktor-faktor yang memicu masalah kesehatan mental pada remaja antara lain adalah tekanan akademik, pergeseran sosial, pengaruh media sosial, serta harapan orang tua yang sering kali terlalu tinggi. Tanda-tanda masalah kesehatan mental pada remaja dapat dikenali melalui perubahan mood yang drastis, gangguan pola tidur dan makan, penurunan minat dan energi, serta perubahan perilaku yang mencakup penarikan diri dan perilaku merusak.

Ulifa Rahma, Psikolog dari Universitas Brawijaya, mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti efikasi diri (kepercayaan diri), penerimaan sosial, dan depresi berkontribusi sebesar 52% terhadap munculnya ide bunuh diri pada remaja. Untuk itu, sangat penting bagi orang tua, guru, dan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda dan gejala yang muncul.
Warning Signs
Sebagai salah satu prediktor munculnya ide bunuh diri, depresi -yang dalam ilmu psikologi dikenal sebagai Mayor Depressive Disorder(MDD), memiliki beberapa karakteristik. Di antaranya adalah suasana perasaan rendah yang berlangsung hampir di semua situasi, setidaknya selama dua minggu. Gejala ini sering kali disertai dengan rendahnya harga diri, hilangnya minat terhadap aktivitas yang biasanya disukai, penurunan energi, serta munculnya rasa nyeri tanpa penyebab yang jelas.
Lebih lanjut, Ulifa Rahma mengungkapkan beberapa respons yang dapat muncul dari remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental. Respons tersebut meliputi menyakiti diri sendiri (self-harm), seperti menyayat kulit, membakar atau membenturkan bagian tubuh, munculnya ide untuk bunuh diri (suicide ideation), kecanduan game dan pornografi, serta kecanduan alkohol. Self-harm sendiri belum tergolong sebagai percobaan bunuh diri, tetapi perilaku ini dapat berkembang menjadi tindakan bunuh diri jika tidak ditangani dengan serius.
Ulifa juga memaparkan beberapa “warning signs” atau tanda-tanda peringatan kecenderungan bunuh diri pada remaja yang memerlukan respons cepat dan tepat. Tanda-tanda tersebut meliputi:
- Berbicara bahwa dirinya adalah beban bagi orang lain.
- Menarik diri dari keluarga dan teman.
- Menunjukkan kemarahan berlebihan atau berbicara tentang keinginan untuk membalas dendam.
- Merasakan kecemasan berlebih atau agitasi.
- Peningkatan penggunaan alkohol, terutama pada mereka yang sudah memiliki riwayat kecanduan.
Bagi pelajar, tanda-tanda lain yang perlu diwaspadai adalah penurunan prestasi akademik, hilangnya minat terhadap sekolah, dan kurangnya interaksi dengan guru maupun teman. Beberapa remaja yang berencana untuk bunuh diri bahkan telah menunjukkan perilaku spesifik, seperti mempersiapkan surat wasiat atau memberikan barang-barang favoritnya kepada orang lain.

Selain itu, remaja yang mengalami kesulitan mengungkapkan emosi intens secara verbal sering kali menyalurkannya melalui tulisan atau gambar tentang kematian atau bunuh diri. Tanda-tanda ini memerlukan perhatian serius untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.
Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri memiliki risiko lebih tinggi untuk mengulangi tindakannya. Risiko ini juga meningkat pada anak yang mengalami kehilangan, seperti kesedihan mendalam atau hilangnya hubungan akibat perceraian atau konflik keluarga, penolakan, kekerasan, atau menyaksikan kekerasan.
Ulifa Rahma menekankan bahwa sinyal-sinyal tersebut harus ditanggapi dengan serius dan bijak. Jangan pernah mengabaikan ancaman bunuh diri dengan menganggapnya sebagai cara untuk mencari perhatian. Sebaliknya, ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan oleh anak, berikan empati, dan pahami krisis emosional yang sedang dialaminya.
Selain itu, berikan dukungan yang sesuai agar anak mampu mengatasi perasaan negatif serta faktor pemicunya. Jika masih merasa ragu atau kurang yakin dalam menangani situasi tersebut, jangan tunda untuk segera merujuk anak kepada profesional, seperti psikolog atau psikiater, untuk mendapatkan bantuan yang tepat.
KGSB Berupaya Meningkatkan Literasi Kesehatan Mental
Ulifa juga menekankan pentingnya peningkatan literasi kesehatan mental baik di kalangan remaja, guru, maupun orang tua. Literasi ini dapat membantu mereka untuk mengidentifikasi faktor risiko dan melakukan manajemen kesehatan mental secara lebih baik. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang kesehatan mental, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih mendukung bagi remaja dalam mengatasi masalah emosional yang mereka hadapi.
Sebagai organisasi yang peduli terhadap isu kesehatan mental, KGSB berkomitmen untuk menjadikan literasi kesehatan mental sebagai prioritas utama dalam pendidikan. Ruth Andriani, pendiri KGSB, menyampaikan bahwa organisasi ini tidak hanya berfokus pada masalah kekerasan seksual dan bullying, tetapi juga berperan aktif dalam peningkatan literasi kesehatan mental. Melalui kegiatan ini, KGSB berharap dapat mencegah semakin banyak remaja yang terjebak dalam krisis emosional, dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan.
“Isu Kesehatan Mental menjadi salah satu prioritas KGSB, selain masalah kekerasan seksual dan bullying. Kami mengajak para anggota KGSB untuk berperan aktif dalam membantu meningkatkan literasi kesehatan mental di lingkungan terdekatnya,” tambah Ruth
Melalui webinar tersebut, Ruth berharap dapat membuka wawasan bagi lebih banyak pendidik, orang tua, dan pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih peduli terhadap kesehatan mental remaja. Dengan pengetahuan yang lebih luas dan respon yang tepat, kita bisa mencegah lebih banyak kasus bunuh diri di kalangan remaja.