Mengatasi Overthinking Gen Z di Era Digital

…… dan Menyongsong Masa Depan AI

Generasi Z dikenal sebagai digital native. Mereka tumbuh dengan gawai di tangan, media sosial sebagai ruang bermain, dan banjir informasi sebagai makanan sehari-hari. Keunggulan ini membuat mereka adaptif, kreatif, dan cepat belajar. Namun di sisi lain, mereka juga mudah terdistraksi dan rentan terjebak “overthinking“.

Keterbukaan Gen Z dalam membicarakan isu kesehatan mental merupakan hal positif. Akan tetapi, seringkali mereka justru terjebak dalam label “cemas” (overthinking) tanpa tahu cara mengelolanya. Karena itu, mereka membutuhkan ruang aman,  tempat di mana mereka bisa didengar, dihargai, dan tidak dihakimi.

Faktor Pemicu Overthinking pada Gen Z

Dalam webinar bertajuk “Future Anxiety? Let’s Talk! Peran BK Digital dalam Mengurangi Overthinking Siswa” yang diselenggarakan secara kolaboratif antara Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) dengan Universitas Cakrawala, Sabtu (20/9/2025) pekan lalu, Rektor Universitas Cakrawala Alim Anggono memaparkan beberapa faktor yang membuat siswa Gen Z rentan terjebak pikiran berulang/overthinking. Di antaranya:

  • Overload informasi: terlalu banyak data membuat bingung mengambil keputusan.
  • FOMO (Fear of Missing Out): takut ketinggalan tren sehingga merasa harus selalu update.
  • Tekanan akademik dan sosial: tuntutan tinggi dari sekolah maupun lingkungan
  • Kurangnya keterampilan manajemen emosi: terbiasa cepat di dunia maya, tetapi mudah goyah menghadapi realitas.
  • Media sosial dan perbandingan diri: melihat pencapaian orang lain sering menimbulkan rasa minder.
  • Ketidakpastian masa depan: membuat mereka mudah cemas akan arah hidupnya.

“Dampaknya jelas, kesehatan mental mereka terganggu, produktivitas menurun, hubungan sosial melemah, dan pengambilan keputusan menjadi terhambat,” tambah Rektor termuda Indonesia ini.

Strategi Mengelola Overthinking

Alim kemudian menawarkan beberapa langkah yang bisa dilakukan siswa Gen Z untuk mengelola overthinking, yaitu:

1. Sadari pola pikir negatif – kenali kapan pikiran mulai berputar-putar tanpa solusi.

2. Kelola informasi digital – batasi konten yang tidak bermanfaat dan bisa memicu kecemasan.

3. Tetapkan prioritas dan tindakan nyata – alihkan energi dari sekadar berpikir menjadi bertindak.

4. Bangun keseimbangan hidup – istirahat cukup, olahraga, dan jalani hobi yang yang menenangkan.

5. Kembangkan dukungan sosial – bicarakan beban pikiran dengan keluarga, teman, atau mentor.

6. Wujudkan budaya sehat di sekolah – sekolah perlu menjadi ruang aman bagi siswa untuk berbagi.

“Tidak usah kecil hati, karena overthinking ini bukan kelemahan, melainkan sekadar sinyal untuk menata ulang ritme hidup,” tegasnya.

AI dan Teknologi, Masa Depan yang Harus Diantisipasi

Selain tantangan psikologis overthinking, dalam kesempatan tersebut Alim yang merupakan alumni S1 Jurusan Psikologi di Universitas Indonesia (UI), yang kemudian melanjutkan jenjang S2 di University of Pennsylvania (UPenn, Amerika Serikat) melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan (Kemkeu) RI juga mengemukakan realitas besar yang menghadang masa depan Gen Z. Tak lain adalah hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang akan mengubah cara kerja hampir di semua bidang.

Dalam menghadapi tantangan besar ini, Alim menekankan tiga hal utama yang perlu diperhatikan siswa, yaitu:

1. Jurusan yang tepat memberi dasar kuat – pemilihan bidang studi tidak boleh asal ikut tren, tetapi harus mempertimbangkan prospek dan relevansinya di masa depan.

2. Soft skills tetap krusial – meskipun AI berkembang, keterampilan seperti critical thinking, komunikasi, kolaborasi, dan problem solving akan selalu dibutuhkan. Contohnya, lulusan Psikologi bisa berkarya di HR Tech, AI Ethics, atau EdTech bila memiliki keterampilan inti yang kuat.

3. Memilih jurusan adalah pilihan masa depan – keputusan sebaiknya tidak semata karena tren, tekanan teman, atau desakan orang tua. Pemilihan yang keliru justru menambah kecemasan dan memperparah overthinking.

Sinergi Ketenangan Batin dan Kesiapan Masa Depan

Paparan Alim Anggono yang diangkat menjadi rektor pada usia 26 tahun 10bulan 4 hari pada Juni lalu menyatukan dua pesan penting. Pertama, Gen Z perlu belajar mengelola overthinking agar energi pikiran tidak habis pada kekhawatiran semu. Kedua, mereka juga harus mempersiapkan diri menghadapi era AI, dengan bekal keterampilan akademis dan soft skills yang kokoh.

Jadi Sahabat KGSB, sebagai guru hebat, mari kita hadir bukan hanya untuk meredakan kecemasan siswa, tetapi juga menuntun mereka mengubah overthinking menjadi kekuatan. Sekaligus menyiapkan diri mereka dalam menghadapi tantangan masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2023 Copyrights  kgsb.org