Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK (RGBK) menggelar webinar bertajuk “Remaja dan Gawai” pada Sabtu, 14 Mei 2022. Acara diikuti oleh ratusan guru dan pengajar dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi di Indonesia serta Timor Leste. Webinar tersebut bertujuan memberikan wawasan kepada para guru tentang cara mengedukasi siswa dalam penggunaan gawai yang tepat. Sebagai narasumber, KGSB menghadirkan dua ahli di bidang psikologi dan pendidikan yaitu Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi/Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, Nanda Rosalia, M.Psi serta Founder Rumah Guru BK serta Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt. Gawai, Pisau Bermanta Dua Gawai kini telah menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat modern. Tidak lagi sekadar alat pelengkap gaya hidup (lifestyle), penggunaannya telah menjadi bagian dari cara hidup kita sehari-hari (way of life). Menurut laporan We Are Social pada Februari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta orang atau sekitar 73,7% dari total populasi. Dari jumlah tersebut, 96% mengakses internet melalui ponsel pintar. Bagi remaja, gawai ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, fitur-fiturnya memberikan manfaat besar, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan dampak negatif jika tidak digunakan secara bijak. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2018 menunjukkan bahwa 65,34% pengguna internet di Indonesia adalah individu berusia 9–19 tahun. Dari kelompok usia ini, 93,52% menggunakan internet untuk mengakses media sosial, selain YouTube dan permainan daring. Founder KGSB, Ruth Andriani, mengungkapkan bahwa gawai telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan remaja masa kini. “Selama pandemi, penggunaan internet dan gawai semakin meningkat di kalangan remaja. Dalam dunia pendidikan, kemajuan teknologi menuntut para guru untuk berperan aktif memberikan edukasi kepada siswa agar dapat menggunakan gawai secara bijaksana,” jelas Ruth. Perihal sikap bijak bergawai ini, Nanda Rosalia, M.Psi., Psikolog Klinis dan Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, menyoroti bahwa sisi negatif gawai sering mendapat perhatian lebih dibandingkan sisi positifnya. Padahal, bagi generasi sekarang, melakukan sesuatu tanpa bantuan gawai terasa menghambat. Nanda menyebut terdapat tiga bentuk utama pemanfaatan teknologi positif bagi remaja. Masing-masing adalah untuk : Menurut Nanda, perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan sosioemosional turut memengaruhi kehidupan sosial remaja. Dalam hal ini, pengaruh teman sebaya sering kali lebih besar dibandingkan keluarga. “Teknologi dan media sosial kini menjadi sarana bagi remaja untuk menemukan jati diri mereka, terutama melalui lingkungan yang mereka anggap nyaman.” Peran Guru Ajak Siswa Bijak Bergawai Lebih lanjut, Nanda menekankan pentingnya peran guru dalam membimbing siswa memanfaatkan teknologi secara positif. Guru dapat memberikan tugas-tugas yang memanfaatkan teknologi, seperti menggunakan media sosial untuk pembelajaran. Guru harus memahami platform media sosial yang digunakan agar mudah diakses dan dipahami oleh siswa. Namun, menjadi guru modern bukan hanya soal menguasai teknologi terbaru. Guru juga bertugas membangun rasa senang belajar yang mendorong daya pikir kritis dan kreativitas siswa. Di samping itu, guru harus tetap memberikan human touch agar siswa tetap memiliki kesantunan, empati, dan jiwa sosial. Menyambung pernyataan Nanda, Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK sekaligus Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, menyoroti pentingnya peran guru dalam memantau penggunaan gawai oleh siswa. Ana kemudian mengungkapkan hasil survei yang dilakukan oleh Gregoria Serra dari Unit of Pediatrics, Campus Bio-Medico University, Roma, Italia, pada Juli 2021. Survei ini melibatkan anak-anak Italia berusia 6–18 tahun dan menunjukkan adanya perubahan tujuan penggunaan smartphone selama pandemi COVID-19 dibandingkan masa sebelumnya. Selama pandemi, smartphone digunakan terutama untuk menjaga koneksi sosial, mendukung pembelajaran, dan sebagai sarana hiburan. Namun, survei tersebut juga mengungkapkan peningkatan signifikan dalam penggunaan berlebihan dan kasus kecanduan gawai. Sebelum pandemi, jumlah anak yang kecanduan gawai lebih kecil dibandingkan anak yang berisiko tinggi kecanduan. Ironisnya, setelah pandemi, jumlah anak berisiko menurun, tetapi jumlah anak yang benar-benar kecanduan meningkat. Ana menekankan bahwa guru perlu menyadari risiko yang terkait dengan penggunaan smartphone yang tidak tepat. “Salah satu tugas Guru BK adalah memantau, bekerja sama dengan orang tua, serta mengidentifikasi kemungkinan efek samping dari penggunaan smartphone. Hal ini mencakup mengenali tanda-tanda awal atau risiko tinggi kecanduan,” ungkapnya. Lebih jauh, Ana menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci dalam upaya memantau dan mengelola penggunaan gawai oleh siswa. Guru BK perlu melakukan intervensi yang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari penggunaan smartphone secara berlebihan terhadap kesehatan anak dan remaja. “Fokus kita harus pada kesehatan anak dan remaja, yang mencakup upaya menjaga perkembangan fisik dan psikologis yang optimal, serta membangun hubungan sosial yang sehat,” pungkas Ana.
Tangkal Kekerasan Seksual di Sekolah
Webinar KGSB Libatkan Rumah Guru BK dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Jakarta, 26 Maret 2022 – Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menyelenggarakan webinar bertajuk “Menghadapi Ancaman Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah” untuk meningkatkan kesadaran guru terkait ancaman kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Webinar ini menggandeng Rumah Guru BK dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, serta menghadirkan guru dan akademisi dari 31 provinsi di Indonesia dan Timor Leste. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 45,1% dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak pada Januari 2022, merupakan kekerasan seksual. Data SIMFONI PPA juga menunjukkan korban terbesar berasal dari murid SLTA (1.727), SLTP (1.196), dan SD (1.095). Sementara dari tingkat Perguruan Tinggi tercatat sebanyak 502 korban dan 742 korban masih merupakan siswa dari lingkungan PAUD. Dari ribuan kasus itu, pelaku kekerasan terbanyak adalah teman atau pacar (879 kasus), disusul orang tua (622 kasus). Selain itu juga ada yang datang dari lingkungan keluarga atau saudara (332) dan guru (147). Paparan data tersebut sudah tentu sangat memperihatinkan, terlebih ancaman kekerasan seksual yang terjadi masih dalam lingkungan pendidikan. Padahal lingkungan pendidikan yang direpresentatifkan lewat perangkat sekolah seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggungjawab dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan seksual. Namun kenyataannya, upaya perlindungan anak dan remaja dari kekerasan seksual ini ternyata memiliki banyak tantangan. Mulai dari rendahnya kesadaran akan ancaman kekerasan seksual, tindakan hukum apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya sampai upaya preventif guna mencegah kekerasan seksual terjadi pada anak dan remaja. Kebanyakan perangkat sekolah masih awam terhadap hal-hal terkait kekerasan seksual. Menyikapi persoalan yang memprihatinkan ini, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bersama Rumah Guru BK dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera mengadakan Webinar “Menghadapi Ancaman Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah” pada Sabtu 26 Maret 2022. Webinar yang diselenggarakan melalui platform zoom online ini diikuti anggota KGSB dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi dari 31 Provinsi di Indonesia serta Timor Leste. Founder KGSB, Ruth Andriani, menjelaskan bahwa webinar tersebut bertujuan membekali para guru agar mampu mencegah dan melindungi anak dari kekerasan seksual. Menurutnya, untuk mengembalikan fungsi sekolah sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman bagi anak, sangat penting bagi guru memahami lebih lanjut soal kekerasan seksual. “Sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya. Kami berinisiatif untuk melindungi masa depan anak melalui para guru. Oleh karena itu, narasumber yang dihadirkan dalam webinar ini kami ambil dari pakar di bidang hukum dan penanganan kekerasan seksual,” tambahnya. Webinar tersebut menghadirkan narasumber Bivitri Susanti, S.H., LL.M., dan Sri Bayuningsih Praptadina, S.H., dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, serta Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK. Dalam paparannya, Bivitri Susanti menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual, baik verbal maupun nonverbal, serta upaya pencegahan dan penanganannya. Ia menekankan bahwa kekerasan seksual harus ditangani secara serius, tidak hanya dari aspek penghukuman, tetapi juga melalui pencegahan, penanganan cepat, dan pemulihan korban. Bivitri juga mengkritisi peraturan perundang-undangan yang ada, yang menurutnya belum menyediakan skema pemulihan yang memadai bagi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut Bivitri mengkritisi UU TPKS (Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual). “Saat ini baru terdapat 3 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. KUHAP yang ada tidak mengenal korban. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak menyediakan skema pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu, skema perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas,” ungkapnya Sri Bayuningsih menambahkan bahwa lembaga pendidikan perlu menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Hal itu bertujuan untuk memberikan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban, serta membantu menciptakan sekolah yang aman, bermartabat, inklusif, kolaboratif, setara, dan bebas dari kekerasan. “Tim penyusun SOP di lingkungan sekolah perlu melibatkan kepala sekolah, guru BK, perwakilan guru, dan perwakilan siswa. Kerangka peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual mencakup definisi, ruang lingkup, prinsip pencegahan dan penanganan, sasaran, serta mekanisme penanganan,” jelasnya. Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti, menambahkan bahwa webinar ini merupakan langkah konkret untuk meningkatkan kesadaran akan isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. “Kolaborasi dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif,” katanya. Melalui webinar tersebut, KGSB berharap dapat memotivasi guru, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas untuk bersama-sama menangani kekerasan seksual demi masa depan generasi bangsa yang lebih baik. ***
KGSB Bekali Guru Kemampuan Dukungan Psikologis Awal (DPA) Kesehatan Mental Siswa
3 Langkah Efektif DPA : Look, Listen & Link Problem kesehatan mental siswa terus meningkat. Data dari Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan lebih dari 3.200 (13%) siswa di Indonesia mengalami gejala depresi ringan hingga berat. Sebanyak 93% gejala depresi pada anak terjadi pada rentang usia 14–18 tahun, sementara 7% sisanya dialami oleh anak berusia 10–13 tahun. Pandemi menjadi salah satu faktor utama yang memicu masalah kesehatan mental pada kelompok usia tersebut. Dampaknya beragam, mulai dari rasa cemas, mudah marah, stres, hingga depresi yang dalam beberapa kasus bahkan memicu keinginan bunuh diri. Kondisi ini menegaskan pentingnya peran guru dan sekolah dalam memberikan Dukungan Psikologis Awal (DPA) guna membantu siswa menghadapi masalah kesehatan mental. Menjawab kebutuhan mendesak tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Rumah Guru BK, dan Konsultan Psikologi Pelangi menggelar Pelatihan Psychological First Aid (PFA) Batch I. Pelatihan yang diikuti oleh 60 guru dari tingkat SD hingga SMA/SMK di Indonesia dan Timor Leste itu dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom. Dalam dua sesi pada 19 Februari dan 5 Maret 2022, peserta menerima pembekalan dari para narasumber kompeten, seperti psikolog Reneta Kristiani, M.Psi., dan dan Lita Patricia Lunanta, M.Psi., serta Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt dari Komunitas Guru BK dan Widyaiswara PPPPTK Penjas dan BK Kemendikbud Ristek RI. Founder KGSB, Ruth Adriani, menyatakan bahwa Pelatihan Dukungan Psikologis Awal (PFA) bertujuan membantu guru dan sekolah memahami serta memberikan dukungan psikologis tepat bagi siswa yang mengalami masalah mental. Menurutnya, sekolah seharusnya menjadi jaring pengaman bagi anak dan remaja, sehingga pelatihan ini diinisiasi untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menangani kesehatan mental siswa. Ana Susanti menambahkan bahwa pelatihan ini melengkapi program serupa dari Kemendikbud Ristek RI yang cakupannya masih terbatas. “KGSB berperan penting memeratakan kompetensi guru dalam mendukung kesehatan mental siswa,” ujarnya. Look, Listen & Link Pelatihan PFA berlangsung dalam tiga tahap: pembekalan teori, praktik mandiri, serta sesi permainan peran (role play) dan evaluasi. Dalam sesi role play para peserta terbagi dalam kelas kecil.Secara bergantian masing-masing menjadi guru dan siswa. Mereka diminta melakukan komunikasi yang buruk (bad communication) serta komunikasi yang baik (good communication) saat konseling terkait mental health yang dialami. Dari role play ini, guru mendapat perspektif baru dari sudut pandang murid. Melalui role play, guru mempraktikkan komunikasi baik dan buruk dalam konseling mental siswa, serta memahami tiga langkah PFA, yaitu Look, Listen, dan Link. Psikolog Reneta Kristiani, M.Psi., menjelaskan bahwa tahapan Look melibatkan asesmen keadaan siswa, Listen menekankan mendengarkan aktif tanpa memberi nasihat terlalu cepat, dan Link menghubungkan siswa dengan bantuan profesional jika diperlukan. Reneta memberi catatan penting yang tidak boleh dilakukan guru saat DPA yaitu terlalu cepat memberi nasehat, melabel siswa, meremehkan permasalahannya, serta menyalahkan siswa. Selain itu, ia mengingatkan para guru untuk juga memperhatikan kesejahteraan dirinya dengan secara rutin melakukan self-care dan manajemen stres agar terhindari dari stress, burn-out, dan compassion fatigue sehingga tetap dapat memberikan dukungan secara optimal. “Saat Listen hindari terlalu cepat memberikan nasehat, solusi dan saran pada siswa. Berusahalah untuk hadir sepenuhnya, dengarkan secara aktif, terima dan pahami perasaan siswa agar siswa merasa nyaman untuk bercerita, merasa dipahami dan dimengerti,” ujarnya. Salah satu peserta, Harmoko, S.Pd., M.Pd., Kons., dari SMA Negeri 1 Mataram, mengapresiasi pelatihan ini. Ia merasa terbantu dalam menangani tantangan mental siswa, terutama setelah bencana gempa Lombok 2018 dan pandemi. “Pelatihan ini menyadarkan saya bahwa langkah yang selama ini saya terapkan sudah sesuai,” ungkapnya. Melihat tingginya minat guru terhadap pelatihan ini, KGSB berkomitmen melanjutkan program serupa sebagai wujud kepedulian terhadap pengembangan kapasitas guru dalam menangani masalah kesehatan mental siswa.
Webinar”Good Parenting – No Bullying”
Sinergi Membangun Generasi Berkarakter Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bersama Universitas Maranatha, Bandung, menyelenggarakan webinar bertajuk “Good Parenting – No Bullying”. Acara yang berlangsung pada Minggu (13/1/2025) sore ini mengangkat isu krusial tentang pola asuh, bullying, dan pentingnya peran lingkungan sekolah dalam membentuk karakter generasi muda. Webinar menghadirkan tiga narasumber berpengalaman. Masing-masing adalah Skidderwati Pasaribu, S.H., yang membahas fenomena bullying dan dasar hukum yang melindungi korban serta pelaku di bawah pendekatan keadilan restoratif. Lalu Celerina Asri, S.Pd., yang menyoroti peran lingkungan sekolah dalam mendukung pembentukan karakter remaja melalui rasa aman, kebersamaan, komunikasi terbuka, dan apresiasi positif. Serta Ruth G. K. Winarno, S.Psi., Psikolog dan anggota KGSB, yang menjelaskan pola asuh efektif untuk membentuk karakter kuat pada remaja. Webinar ini diikuti oleh lebih dari 60 peserta anggota KGSB serta para mahasiswa S2 Psikologi Universitas Maranatha. Para peserta mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membangun generasi muda yang berkarakter. Dalam paparannya, Skidderwati Pasaribu menekankan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang, dengan dampak serius pada korban, seperti stres, depresi, hingga keinginan bunuh diri. Ia juga menguraikan payung hukum Indonesia yang mendukung perlindungan anak, seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mendukung pendekatan keadilan restoratif untuk memulihkan hubungan korban dan pelaku. Ruth Winarno menambahkan pentingnya peran pola asuh dalam membentuk karakter anak. Ia menjelaskan empat tipe pola asuh berdasarkan teori Baumrind, yaitu otoriter, permisif, tidak terlibat, dan otoritatif. “Pola asuh otoritatif yang seimbang antara disiplin dan kebebasan sangat efektif dalam membangun karakter anak yang mandiri, jujur, dan penuh tanggung jawab,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya penanaman sembilan karakter utama pada anak, seperti cinta Tuhan, tanggung jawab, jujur, dan toleransi. Peran orang tua dalam hal ini, adalah menjadi teladan, membimbing anak mendekatkan diri pada Tuhan, serta membantu menemukan potensi anak untuk dikembangkan. Sementara Celerina Asri memaparkan bahwa sekolah sebagai lingkungan kedua setelah keluarga harus bisa menciptakan rasa aman, kebersamaan, dan komunikasi yang terbuka untuk membantu remaja mengembangkan karakter positif. “Lingkungan sekolah yang sehat adalah fondasi penting untuk mengurangi risiko bullying dan meningkatkan hubungan sosial yang sehat,” jelasnya. Menurut teori Bronfenbrenner dan Maslow, lingkungan sekolah yang sehat menjadi fondasi penting dalam mengurangi risiko bullying dan membangun hubungan sosial yang positif. Program seperti pendidikan karakter, pelatihan empati, dan sistem pelaporan yang aman menjadi solusi efektif dalam mencegah bullying. Acara diakhiri dengan sesi tanya jawab interaktif yang memberikan ruang bagi peserta untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan solusi praktis dari para narasumber. Kesimpulan dari webinar ini menegaskan bahwa kolaborasi antara orang tua, guru, dan siswa sangat penting. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi generasi yang berkarakter, percaya diri, dan memiliki nilai-nilai moral yang kuat. Upaya ini memerlukan peran aktif semua pihak demi menciptakan masa depan yang lebih baik. “Kolaborasi adalah kunci,” tandas Ruth Andriani, founder KGSB. “Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri, berempati, dan memiliki nilai-nilai moral yang kuat,”pungkasnya.
Satkaara Berbagi Bekali Mental Health First Aid Kit untuk Guru KGSB
Guru memegang peran penting sebagai garda terdepan dalam mendeteksi dan merespon gangguan kesehatan mental siswa. Webinar Mental Health First Aid (MHFA) Kit yang diselenggarakan oleh Satkaara Berbagi bekerjasama dengan Rumah Guru BK pada awal kelahiran KGSB tiga tahun silam ini, memberikan panduan praktis bagi tenaga pendidik untuk mendeteksi dan menangani gangguan psikologis siswa melalui kolaborasi The Teaching Triangle antara guru, orang tua, dan siswa. Webinar diselenggarakan pada Sabtu (18/12/2021) dan melibatkan 193 guru anggota Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) serta menghadirkan narasumber profesional, termasuk psikolog Reneta Kristiani, M.Psi., dan pendidik Ana Susanti, M.Pd. Dalam webinar tersebut, disoroti dampak pandemi terhadap kesehatan mental siswa, seperti kebosanan, learning loss, hingga kecemasan. Melalui metode MHFA yang meliputi langkah Look, Listen, Link, guru diajarkan cara mendeteksi, merespon, dan merujuk siswa dengan masalah psikologis. Tema Mental Health First Aid (MHFA) dipilih berdasarkan hasil polling nasional pada November 2021 yang melibatkan 106 guru anggota KGSB tingkat SD hingga SMA dari 20 provinsi. Polling ini mengungkap berbagai permasalahan yang sering dihadapi guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), termasuk cara mengenali dan merespons gejala gangguan kesehatan mental siswa secara tepat demi mendukung perkembangan mental yang positif. Mental Health First Aid: Kunci Guru Menjaga Kesehatan Mental Siswa “Guru memiliki peran besar menjaga kesehatan mental murid. Webinar ini kami harapkan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam mendukung siswa secara optimal,” ujar Ruth Andriani, founder KGSB yang juga merupakan Co-Founder PT Cetta Satkaara. Hasil penelitian Mental Health First Aid USA pada 2021 menunjukkan bahwa satu dari lima anak berusia 13–18 tahun (22 persen) pernah mengalami gangguan kesehatan mental yang serius di beberapa tahap kehidupan mereka. Rentang usia tersebut mencakup para siswa yang ketika itu mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas, atau sistem blended learning. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi terbukti memberikan dampak signifikan pada aspek psikososial siswa, seperti munculnya perasaan bosan, kekhawatiran, burnout, hingga learning loss. Menurut Kemendikbud, Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas dianggap sebagai salah satu solusi efektif untuk mengatasi berbagai gangguan psikologis tersebut. Namun, tidak dapat disangkal bahwa beberapa siswa masih mengalami masalah psikologis meskipun telah mengikuti PTM terbatas. Reneta Kristiani, M.Psi., dalam paparannya menjelaskan tiga langkah dasar dalam Mental Health First Aid (MHFA) Kit: Look, Listen, dan Link. Ketiga tahapan ini merupakan tanggung jawab bersama dalam sistem The Teaching Triangle yang melibatkan sekolah (guru), orang tua, dan siswa. Tahap berikutnya adalah menerapkan 10 langkah pertolongan MHFA, yaitu: Reneta menekankan pentingnya kerjasama dalam The Teaching Triangle untuk menciptakan perubahan positif pada proses pembelajaran. Ada dua jenis perubahan yang diharapkan: “Guru dan orang tua jangan hanya berfokus pada hasil akademik siswa, tetapi lebih pada proses dan perubahan nilai yang lebih mendalam. Relasi yang baik antara murid, guru, dan orang tua adalah kunci,” jelas Reneta. Praktik Pendekatan Bertahap oleh Guru Siti Aisyah, M.Pd., Kons., Guru BK SMPN 18 Semarang sekaligus anggota KGSB, membagikan pengalamannya dalam menghadapi berbagai kendala siswa selama pandemi, seperti rendahnya pemahaman materi, tugas menumpuk, hingga kecemasan. Ia menggunakan pendekatan bertahap melalui cyber counseling via chat, DM, telepon, atau video call, yang terbukti efektif mengatasi keterbatasan komunikasi saat pandemi. Senada dengan Reneta, Siti juga aktif menjalin komunikasi harmonis dengan orang tua siswa, baik melalui undangan ke sekolah maupun kunjungan rumah (home visit). Ia menekankan pentingnya koordinasi dengan pihak sekolah untuk mendapatkan dukungan. “Saya juga membuat grup WhatsApp dengan orang tua untuk menyampaikan informasi penting dan menjaga kedekatan, sehingga mereka merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan saya,” ungkapnya. Upaya ini menjadi salah satu solusi nyata dalam mendukung kesehatan mental siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Pelatihan KGSB: Kelas Penulisan Dongeng 44 JP”Cerita Anak dari Khatulistiwa”
KGSB bekerja sama dengan Wong Indonesia Nulis (WIN) mengadakan:Pelatihan KGSB: Kelas Penulisan Dongeng 44 JP“Cerita Anak dari Khatulistiwa” Pemateri:Angela Corine, M,Pd – Pendongeng dan Penulis Buku Anak BabelTitik Kartitiani – Penulis dan Jurnalis SeniorKetentuan Peserta:Khusus Anggota KGSB Jadwal Acara:Hari, TanggalSabtu, 14 September 2024 (Pembekalan & Pelatihan)Sabtu, 28 September 2024 (Presentasi & Evaluasi) Link Registrasi : https://bit.ly/PelatihanKGSBKelasPenulisanBukuDongeng GRATIS TIDAK DIPUNGUT BIAYA Peserta akan mendapatkan E-Certificate 44 JP Contact Person:Alfa – 0857 1084 0700 Ketentuan dan Persyaratan Setiap calon peserta wajib mengirimkan karya tulisan kepada panitia untuk diseleksi, dengan ketentuan penulisan sebagai berikut : 1. Tema penulisan “Cerita Anak dari Khatulistiwa”2. Tulisan bersifat fiksi sesuai dengan tema.3. Gaya penulisan santai dengan tetap memperhatikan EYD atau PUEBI yang baik.4. Tulisan berjumlah minimal 1.500 – 2.000 kata.5. Tulisan wajib orisinil.6. Batas akhir pengiriman karya tulisan : Rabu, 11 September 2024.7. Karya tulisan dikirim melalui email ke kontak.kgsb@gmail.com8. Peserta wajib mengikuti rangkaian pelatihan sampai selesai
Webinar Satkaara dan Rumah Guru BK: Kesehatan Mental Siswa Sering Luput Diperhatikan
KOMPAS.com – Kesehatan mental murid di masa pandemi seringkali luput untuk diperhatikan, terutama dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di era kenormalan baru yang memberikan banyak tantangan kepada murid. Menurut hasil penelitian Mental Health First Aid USA 2021 menyebut satu dari lima anak berusia 13-18 tahun (22 persen) mengalami gangguan kesehatan mental parah di beberapa titik selama hidup mereka. Pada rentang usia tersebut merupakan usia anak didik yang kini tengah menjalani KBM baik dengan PJJ, PTM Terbatas maupun blended. Faktanya, pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi saat ini berdampak pada aspek psikososial murid. Mulai dari perasaan bosan, khawatir, burn out sampai learning loss. Menurut Kemendikbud, PTM Terbatas menjadi salah satu solusi efektif mengatasi berbagai gangguan psikologis yang dialami siswa. Namun tidak menutup kemungkinan beberapa siswa masih mengalami gangguan psikologis meskipun sudah menjalani PTM Terbatas. Sebagai wujud nyata komitmen dan kepedulian Satkaara terhadap pendidikan dan kesehatan mental murid serta guru di Indonesia, Satkaara Berbagi kembali berkolaborasi dengan Rumah Guru BK menghadirkan webinar bagi Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB). Webinar diselelenggarapakan pada Sabtu, 18 Desember 2021 melalui platform zoom ini diikuti 193 guru anggota KGSB dan mengangkat tema “Mental Health First Aid (MHFA) Kit”. Baca juga: Psikolog Unair: Tanda Seseorang Alami Gangguan Kesehatan Mental Psikosis Peran guru dalam kesehatan mental siswa Tema MHFA ini dipilih berdasarkan poling nasional yang dilakukan per November 2021 kepada 106 guru ditingkat SD hingga SMA dari 20 provinsi. Poling tersebut menanyakan seputar permasalahan yang sering ditemui guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), termasuk cara mengenal dan merespon gejala kesehatan siswa dengan tepat untuk perkembangan mental yang positif. Narasumber dalam webinar tersebut yakni: adalah Reneta Kristiani (Psikolog dan Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya), Ana Susanti (Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud). Kegiatan webinar MFA juga melibatkan anggota KGSB yaitu Guru BK SMPN 18 Semarang, Siti Aisyah dan Guru BK SMAN 34 Jakarta, Juli Sugiati. Co-Founder dan Senior Advisor PT Cetta Satkaara, Ruth Andriani menuturkan webinar MHFA ini diharapkan dapat meningkatkam kompetensi dan kapabilitas guru serta kita berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. “Guru memiliki peran yang besar dalam menjaga kesehatan mental murid selama KBM berlangsung. Oleh sebab itu, kami menilai penting bagi para guru untuk memahami tentang Mental Health First Aid Kit langsung dari narasumber profesional,” ujar Ruth. Dalam paparannya, Reneta menjelaskan tiga langkah dasar dalam melakukan Mental First Aid Kit yakni Look, Listen dan Link. Ketiga tahapan tersebut menjadi tanggung jawab sekolah (guru), orangtua dan siswa yang merupakan sistem (The Teaching Triangle). Setelah melakukan pengamatan pada murid, maka selanjutnya adalah 10 langkah pertolongan Mental First Aid meliputi: Bersiap-siaplah, Perhatikan, Mendengar dan menyimak, Bertanya, Memberikan respons yang empatik, Belajar, Hadir, Tunjukkan kepedulian dan kasih yang tanpa syarat, Rujuk untuk mendapatkan bantuan profesional serta Menjaga kesehatan mental diri sendiri. https://www.kompas.com/edukasi/read/2021/12/19/123733471/webinar-satkaara-dan-rumah-guru-bk-kesehatan-mental-siswa-sering-luput
Webinar KGSB: Pengelolaan Kelas yang Berbasis Psikologi Siswa
Sahabat Guru Hebat, Dewasa ini, pemahaman mengenai psikologi siswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif. Pengelolaan kelas berbasis psikologi siswa dapat meningkatkan motivasi belajar, keterlibatan, dan kesejahteraan emosional siswa. Studi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa 70% siswa yang merasa didukung secara emosional melaporkan peningkatan motivasi belajar, dan 65% melaporkan peningkatan keterlibatan dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, para pendidik perlu strategi efektif dalam mengelola kelas dengan memperhatikan kebutuhan psikologis siswa. Webinar ini bertujuan memberikan wawasan kepada para pendidik tentang pentingnya pengelolaan kelas berbasis psikologi siswa. Diharapkan, para pendidik dapat mengadopsi pendekatan holistik untuk menciptakan suasana belajar yang mendukung perkembangan emosional dan akademis siswa. KGSB Present: WEBINAR“Pengelolaan Kelas yang Berbasis Psikologi Siswa” Narasumber: 1. Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt. (Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di PPSDM Kemendikbudristek RI) 2. Naila Kamaliya, M.Psi.,Psikolog, Dosen Prodi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya MC● Jumianawati, S.Psi, M.Pd (Guru BK SMA Negeri 1 Cipari & Anggota KGSB) Moderator● Aulianti Jaya, M.Pd. (Guru BK SMAN 76 Jakarta & Anggota KGSB) Jadwal Acara:Hari, tanggal: Sabtu, 24 Agustus 2024Waktu : Pkl. 12.30-15.15 (WIB)/ 13.30-16.15 (WITA)/ 14.30-17.15 (WIT) BATAS WAKTU PENDAFTARAN23 Agustus 2024 #WebinarKGSB#PengelolaanKelasBerbasisPsikologiSiswa#KomunitasGuruSatkaaraBerbagi#berbagiberdampakbernilai
Webinar KGSB: Pengelolaan Kelas yang Berbasis Psikologi Siswa
Sahabat Guru Hebat, Dewasa ini, pemahaman mengenai psikologi siswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif. Pengelolaan kelas berbasis psikologi siswa dapat meningkatkan motivasi belajar, keterlibatan, dan kesejahteraan emosional siswa. Studi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa 70% siswa yang merasa didukung secara emosional melaporkan peningkatan motivasi belajar, dan 65% melaporkan peningkatan keterlibatan dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, para pendidik perlu strategi efektif dalam mengelola kelas dengan memperhatikan kebutuhan psikologis siswa. Webinar ini bertujuan memberikan wawasan kepada para pendidik tentang pentingnya pengelolaan kelas berbasis psikologi siswa. Diharapkan, para pendidik dapat mengadopsi pendekatan holistik untuk menciptakan suasana belajar yang mendukung perkembangan emosional dan akademis siswa. KGSB Present: WEBINAR“Pengelolaan Kelas yang Berbasis Psikologi Siswa” Narasumber: MC● Jumianawati, S.Psi, M.Pd (Guru BK SMA Negeri 1 Cipari & Anggota KGSB) Moderator● Aulianti Jaya, M.Pd. (Guru BK SMAN 76 Jakarta & Anggota KGSB) Jadwal Acara:Hari, tanggal: Sabtu, 24 Agustus 2024Waktu : Pkl. 12.30-15.15 (WIB)/ 13.30-16.15 (WITA)/ 14.30-17.15 (WIT)Platform: ZOOM Meeting (Link akan diberikan H-1 acara melalui WA) BATAS WAKTU PENDAFTARAN23 Agustus 2024 GRATIS TIDAK DIPUNGUT BIAYA LINK REGISTRASIhttps://bit.ly/KGSBPengelolaanKelasBerbasisPsikologiSiswa E-CERTIFICATE (Khusus untuk anggota KGSB)
Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah
Per Agustus 2023, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan. Dari data tersebut, 487 kasus merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah. Setiap jenjang pendidikan harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan tindak kekerasan seksual di sekolah sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Penanganan tindak kekerasan seksual harus sesuai dengan prinsip dukungan psikologis atau psychological first aid (PFA) yang meliputi, safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate KGSB Present: WEBINAR“Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah” Narasumber: MC● Elshinta T.K Sambenthiro (Guru BK SMPN 1 Balikpapan & Anggota KGSB) Moderator● Kustanti P., S.Pd., Kons (Guru BK SMPN 2 Kalipuro Banyuwangi & Anggota KGSB) Jadwal Acara:Hari, tanggal: Sabtu, 24 Februari 2024Pukul : 12.30-15.15 (WIB)/ 13.30-16.15 (WITA)/ 14.30-17.15 (WIT)Platform: ZOOM Meeting (Link akan diberikan H-1 acara melalui WA) BATAS WAKTU PENDAFTARAN23 Februari 2024 GRATIS TIDAK DIPUNGUT BIAYA LINK REGISTRASIhttps://bit.ly/KGSBTanganiKekerasanSeksual Contact Person:Riki – 0856 100 7674