Kebijakan jam malam dan masuk sekolah lebih pagi yang diterapkan Gubernur Jabar KDM menuai beragam tanggapan dari para guru.
Dari sisi kedisiplinan hingga kelelahan siswa dan guru, aturan ini membuka ruang diskusi antara harapan dan tantangan di lapangan.
Menjadi Guru Sahabat Siswa
Temukan tujuh cara sederhana namun bermakna untuk membangun hubungan hangat dan penuh empati antara guru dan siswa demi menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan.
Tips Fashion untuk Guru: Tampil Rapi, Nyaman, dan Menginspirasi
Sebagai pendidik, guru bukan hanya panutan dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam penampilan. Tampil rapi, sopan, dan profesional setiap hari merupakan bagian dari menciptakan suasana belajar yang positif serta mencerminkan penghargaan terhadap peran mulia sebagai pengajar. Namun, hal ini tidak berarti harus meninggalkan gaya pribadi ya, Sahabat Guru Hebat. Infografis ini menampilkan inspirasi Outfit of the Day (OOTD) untuk guru pria dan wanita, dengan perpaduan kenyamanan, kesopanan, dan sentuhan modis yang tetap sesuai dengan lingkungan sekolah. Agar tetap nyaman dan percaya diri, berikut beberapa tips fashion yang dapat diterapkan dalam keseharian mengajar. 1. Utamakan Kenyamanan 2. Padu Padan Warna Netral & Ceria 3. Setelan Simpel tapi Elegan 4. Perhatikan Panjang dan Potongan Pakaian 5. Gunakan Aksesori Secukupnya 6. Sepatu yang Nyaman 7. Tampil Konsisten dan Rapi 8. Sesuaikan Gaya dengan Acara Berikut contoh OOTD (Outfit of the Day) untuk guru pria dan wanita agar tampil profesional, nyaman, dan tetap modis di sekolah: 👩‍🏫 Contoh OOTD Guru Wanita 🟤 OOTD 1 – Gaya Klasik Modern 🌸 OOTD 2 – Gaya Kasual Rapi 🟣 OOTD 3 – Gaya Semi Formal untuk Rapat 👨‍🏫 Contoh OOTD Guru Pria 🔵 OOTD 1 – Gaya Smart Casual ⚫ OOTD 2 – Gaya Formal Sederhana 🟢 OOTD 3 – Gaya Santai untuk Hari Jumat
Tetap Bugar di Tengah Padatnya Mengajar
Dari sarapan bergizi hingga relaksasi singkat di tengah kelas, temukan 7 cara praktis agar tetap bugar dan bahagia saat mengajar setiap hari.
Smartphone di Tangan Guru: Video Inspiratif dari Ruang Belajar
Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) kembali menggelar webinar inspiratif bertajuk “Membuat Video Pembelajaran Inspiratif dengan Smartphone” pada Sabtu, 3 Mei 2025. Kegiatan berlangsung serentak di tiga zona waktu: pukul 09.00–12.00 WIB, 10.00–13.00 WITA, dan 11.00–14.00 WIT, serta diikuti oleh 167 anggota KGSB dan 4 peserta umum non-anggota. Koordinator Program & Pelatihan KGSB,  Riki M Iskandar mengungkapkan, tema tersebut sangat relevan dengan kebutuhan guru masa kini. “Video pembelajaran telah menjadi sarana populer dalam kegiatan belajar mengajar, bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tapi juga fasilitator untuk menyampaikan materi faktual secara kreatif dan inspiratif,” ujarnya. Ia menekankan bahwa cukup dengan alat sederhana seperti smartphone, guru dapat menghasilkan konten pembelajaran yang menarik. Lebih dari itu, pelatihan ini diharapkan menjadi ruang kolaborasi dan tempat berbagi inspirasi antarguru, serta mendorong anggota KGSB untuk menjadi bagian dari gerakan positif di media sosial. Webinar ini menghadirkan Frets Ferdinand, seorang jurnalis video berpengalaman dan pendiri Berisik Project. Frets telah berkarya sejak 2005 di program kreatif dan dokumenter Liputan 6 SCTV, serta telah meraih berbagai penghargaan seperti KPI Award dan Adinegoro Journalism Award. Selain sebagai praktisi, Frets juga dikenal sebagai pelatih literasi digital di berbagai pelatihan nasional dan internasional, termasuk untuk Kedutaan Besar AS di Indonesia dan Timor Leste. Berisik merupakan akronim dari Berbagi Ilmu Itu Asyik—sebuah gerakan edukasi literasi digital yang mendorong produksi konten positif. “Smartphone itu alat yang sangat powerful. Semua orang bisa jadi videografer dan punya kesempatan memenuhi media sosial dengan hal-hal positif,” katanya. Frets memandu peserta memahami teknik dasar pembuatan video pembelajaran, mulai dari: Dengan gaya komunikasinya yang sederhana dan aplikatif, Frets membuktikan bahwa siapa pun dapat mulai memproduksi video edukatif dengan alat yang dimiliki. “Tujuan pembuat video bukan hanya supaya keren, tapi juga agar bisa dipahami dan bermanfaat. Kalau audiens tidak mengerti video kita, berarti pesan belum tersampaikan,” pesannya. Melalui pelatihan ini, KGSB tidak hanya mendorong peningkatan kapasitas guru, tetapi juga menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat dan edukatif. Semangat untuk berbagi dan berinovasi terus digaungkan dalam setiap kegiatan, sesuai dengan semangat komunitas: Satkaara, Bergerak Bersama, Berbagi Bermakna.
Guru Bijak di Media Sosial
Panduan Bermedia Sosial di Era Digital Di era digital yang serba cepat, media sosial menjadi ruang publik baru yang memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Namun, penggunaan media sosial secara tidak bijak dapat membawa risiko serius, terutama bagi guru yang berperan sebagai teladan di masyarakat. Imbauan terbaru dari Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti menyoroti pentingnya kehati-hatian guru dalam bermedia sosial. Dalam sambutannya saat membuka Pekan Olahraga dan Seni SMK Muhammadiyah (Porsikam) di Metro (26/4/2025), beliau menegaskan bahwa banyak konten di media sosial saat ini hanya mengejar sensasi demi popularitas atau keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan kebenaran isi. Bahkan, muncul fenomena baru seperti “no viral no justice” — seolah-olah kebenaran hanya diakui jika telah viral. Seorang guru bukan hanya pengajar, tetapi juga panutan, baik di dalam maupun di luar kelas. Kehadirannya di media sosial menjadi representasi dari nilai-nilai yang ia ajarkan kepada para murid dan masyarakat. Ketika seorang guru terlibat dalam penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, atau konten yang tidak pantas, maka bukan hanya kredibilitas pribadinya yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap profesi pendidik itu sendiri. Di era digital ini, setiap unggahan, komentar, atau like yang diberikan dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus. Bahkan kesalahan kecil yang terlihat sepele dapat dengan mudah disalahartikan atau disebarluaskan oleh pihak lain dengan konteks yang berbeda. Inilah yang membuat kehati-hatian menjadi sebuah keharusan. Tidak sedikit kasus di mana seseorang harus menghadapi konsekuensi hukum atau etika profesi hanya karena kurang bijak dalam menggunakan media sosial. Maka dari itu, guru perlu menempatkan diri dengan penuh kesadaran dalam setiap interaksi digital. Media sosial memang menawarkan kemudahan dalam berkomunikasi dan berekspresi, tetapi sekaligus menyimpan potensi risiko yang dapat merusak reputasi, hubungan profesional, bahkan karier. Dengan memahami hal ini, guru dapat menjadikan media sosial sebagai ruang untuk berbagi kebaikan, menyebarkan semangat belajar, dan membangun citra positif sebagai pendidik yang berintegritas di tengah derasnya arus informasi. Tips Bijak Bermedia Sosial untuk Guru Untuk menghindari dampak negatif, berikut tips bermedia sosial yang perlu diperhatikan guru: âś… Saring Sebelum SharingSelalu verifikasi kebenaran informasi sebelum membagikannya. Hindari menyebarkan berita hanya karena menarik atau emosional. âś… Kendalikan Emosi saat Membuat Status atau KomentarJangan meluapkan kekecewaan, kemarahan, atau sindiran secara publik. Diskusikan secara privat jika ada masalah. âś… Pisahkan Akun Pribadi dan ProfesionalPertimbangkan untuk membuat akun terpisah: satu untuk keperluan profesional (seperti berinteraksi dengan siswa dan orang tua), dan satu untuk pribadi. âś… Gunakan Media Sosial sebagai Sarana EdukasiBagikan konten edukatif, inspiratif, atau refleksi yang bermanfaat untuk komunitas pendidikan. âś… Ikuti Akun Edukatif dan TerpercayaMengikuti akun-akun edukatif akan memperkaya wawasan dan memperluas diskusi positif. Do & Don’t: Etika Guru Bermedia Sosial âś… Hal yang Harus Dilakukan: ❌ Hal yang Harus Dihindari: Demikianlah, media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa membantu untuk mendapatkan inspirasi pendidikan, komunikasi positif, dan penguatan karakter siswa. Namun, penggunaannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Abdul Mu’ti, bijak bermedia sosial adalah bagian dari integritas seorang guru. Karena sejatinya, mendidik bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang memberikan keteladanan, termasuk di dunia maya. “Gunakan media sosial untuk membangun, bukan menghancurkan. Jadilah guru yang bijak di era viral.”
Dari Webinar KGSB : Kelas Bukan Sekadar Tempat Belajar, tapi Ruang untuk Didengar
Komunikasi efektif adalah fondasi utama dalam menciptakan proses belajar mengajar yang bermakna. Melalui pendekatan seperti I-message, mendengar aktif, dan komunikasi asertif, guru tidak hanya dituntut untuk menyampaikan materi, tetapi juga memahami dan menjangkau hati murid. Komunikasi yang efektif antara guru dan murid menjadi sorotan dalam webinar kolaboratif antara komunitas Kelas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) dan platform edukasi Karir.mu, Jumat (15/3). Kegiatan ini menghadirkan Husnul Chotimah, praktisi pendidikan inklusi dan PAUD, sebagai narasumber utama. Mengangkat tema “Mengupas Keresahan Guru, Teknik Komunikasi Efektif, dan Studi Kasus Nyata dari Lapangan”, acara ini diikuti oleh 166 guru dari berbagai wilayah di Indonesia. Dalam sesi pembukaan, Husnul menyampaikan bahwa permasalahan komunikasi antara guru dan siswa tidak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan juga di daerah pelosok. “Guru perlu lebih dari sekadar bicara—guru harus mendengar,” ungkapnya. Keresahan Guru, Tantangan Nasional Melalui survei dan diskusi interaktif, muncul berbagai tantangan yang dihadapi guru selama proses belajar mengajar. Di antaranya: siswa yang tidak fokus, kurang disiplin, sulit diajak kerja sama, hingga kesulitan guru dalam menyampaikan pesan secara efektif. Masalah ini tidak terlepas dari pola komunikasi yang diterapkan di ruang kelas. Husnul mengidentifikasi tiga gaya komunikasi yang umum digunakan guru: Strategi Komunikasi: I-Message dan Mendengar Aktif Webinar ini juga membekali peserta dengan pendekatan praktis, salah satunya adalah teknik I-message. Dengan metode ini, guru diajak untuk menyampaikan perasaan dan harapan tanpa menyalahkan murid. Misalnya, daripada berkata “Kamu selalu ribut!”, guru bisa menggunakan kalimat seperti: “Ibu merasa terganggu saat kamu berbicara ketika Ibu menjelaskan. Ibu berharap kamu bisa mendengarkan.” Pendekatan lain yang tak kalah penting adalah mendengar aktif—yakni kemampuan memahami siswa secara empatik, melalui bahasa tubuh, nada suara, serta respon yang mencerminkan perhatian penuh. Hal ini, menurut Husnul, dapat menumbuhkan rasa percaya dan kedekatan emosional antara guru dan siswa. Simulasi Kasus dan Pembelajaran Kontekstual Sebagai bagian dari sesi pelatihan, peserta diajak berdiskusi berdasarkan tiga studi kasus nyata yang kerap dihadapi guru di sekolah: siswa yang tidak disiplin, kurang percaya diri, dan konflik antar siswa. Lewat simulasi dan storytelling, guru belajar untuk mengembangkan pendekatan komunikatif yang tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi juga memberdayakan murid. “Dengan pendekatan yang tepat, guru bukan hanya menyampaikan materi, tapi juga menjadi pendengar yang aman dan suportif bagi anak-anak,” ujar Husnul. Ciptakan Ruang Kelas yang Inklusif dan Memberdayakan Webinar ini menjadi wadah refleksi sekaligus penguatan kapasitas guru, terutama dalam membangun ruang kelas yang inklusif dan suportif melalui komunikasi yang efektif. Semangat ini sejalan dengan visi KGSB dan Karir.mu untuk terus menghadirkan pelatihan guru berbasis kebutuhan nyata di lapangan. “Guru hebat bukan hanya yang mampu menjelaskan pelajaran, tetapi juga yang mampu menjangkau hati murid,” tutup Husnul.
KGSB Ajak Guru dan Siswa jadi Agen Perubahan Lewat Program #BalasBaik
Pamulang, 20 Maret 2025 – Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) kembali menunjukkan komitmennya dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat dan aman bagi siswa melalui program #BalasBaik. Bekerja sama dengan Rumah Guru Bimbingan dan Konseling (RGBK) dan Indonesia Student & Youth Forum (ISYF), program ini hadir di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang sebagai bentuk nyata peran guru dalam mengedukasi siswa untuk menanggapi kekerasan dengan kebaikan. Sebagai bagian dari pilot project KGSB, SMA Muhammadiyah 25 Pamulang menjadi sekolah pertama di Provinsi Banten yang menjalankan program ini. Pendekatan kolaboratif dan partisipatif yang diusung KGSB menjadi kekuatan utama untuk menciptakan perubahan budaya di sekolah, dari membalas dengan dendam menjadi membalas dengan empati dan solidaritas. Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menekankan bahwa program ini merupakan bagian dari misi jangka panjang KGSB dalam memperkuat kapasitas guru sebagai agen perubahan. “Kami percaya bahwa perubahan berkelanjutan di sekolah harus dimulai dari ruang kelas, dan guru adalah ujung tombaknya. Program #BalasBaik tidak hanya memberi pengalaman baru bagi siswa, tetapi juga memperkuat komunitas guru dalam menjalankan peran pendidik yang transformatif,” ujar Ardyles. Selama dua hari kegiatan bertajuk Pesantren #BalasBaik (19-20 Maret 2025), sebanyak 50 siswa kelas X dan XI serta pengurus Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dilatih untuk mengenali bentuk-bentuk perundungan dan menjadi agen perubahan di lingkungan sekolah mereka. Dengan metode khas KGSB seperti curah pengalaman, permainan edukatif, dan refleksi, para peserta diajak menginternalisasi nilai kebaikan sebagai kekuatan utama dalam merespons konflik. Program ini lahir dari keprihatinan atas meningkatnya kasus perundungan di lingkungan pendidikan. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa pada tahun 2024 tercatat 573 kasus kekerasan di sekolah, dengan 31 persen di antaranya merupakan kasus perundungan. Kondisi ini menguatkan tekad KGSB untuk mengarusutamakan gerakan anti-bullying berbasis nilai dan karakter. Ana Susanti, Founder RGBK dan Widyaiswara di PPSDM Kemdikdasmen RI, menambahkan bahwa gerakan ini berakar dari kebutuhan mendesak untuk membangun kesadaran sejak dini. “Kami bersama KGSB ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan sebagai budaya. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian, dan mereka bisa memilih jalan kebaikan,” tuturnya. Ana Susanti menambahkan, “Pesantren #BalasBaik ini adalah bagian dari gerakan sosial untuk memperluas kampanye anti-perundungan dengan menanamkan budaya kebaikan sejak dini. Program ini bertujuan untuk membangun kesadaran siswa agar mereka dapat mengenali perundungan, mengetahui dampaknya, dan bertindak dengan bijak saat menghadapinya.” Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 25 Pamulang menegaskan komitmennya untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas perundungan. “Tidak ada tempat untuk perundungan di sekolah. Jadilah generasi yang saling menghargai, menghormati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Kekuatan sejati ada pada kebaikan dan solidaritas,” tegasnya. Sementara Executive Director ISYF, Dinnur Garista Wirawan menyatakan  tekadnya untuk terus memperluas program ini ke sekolah-sekolah lain. “Pesantren Balas Baik bertujuan untuk menyebarluaskan praktik baik di kalangan pelajar agar budaya anti-bullying semakin kuat. Kami berharap, gerakan ini bisa meminimalisir kasus perundungan dan membangun karakter positif bagi generasi muda,” ujarnya Dengan terus bergulirnya program #BalasBaik, KGSB berharap lebih banyak sekolah dan guru yang bergabung dalam gerakan kebaikan ini. Karena bagi KGSB, membangun sekolah yang aman dari kekerasan adalah panggilan kolektif para pendidik untuk memastikan bahwa generasi muda tumbuh dalam ruang belajar yang manusiawi, ramah, dan penuh harapan. ***
ToT #BalasBaik, Promosi Pendidikan Tanpa Kekerasan
Depok, 22 Februari 2025 – Untuk menanggulangi maraknya kekerasan dalam dunia pendidikan, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Rumah Guru Bimbingan dan Konseling (RGBK), dan Indonesia Student & Youth Forum (ISYF) mengadakan Training of Trainer (ToT) #BalasBaik di PPSDM Kemendikdasmen, Bojongsari, Depok. Pelatihan ini bertujuan mencetak fasilitator yang akan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya budaya kebaikan dan toleransi guna mencegah bullying serta kekerasan di lingkungan pendidikan. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), kasus kekerasan terhadap anak pada Januari hingga Februari 2024 telah mencapai 1.993. Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak, di mana 861 kasus terjadi di lingkungan sekolah. Fakta ini menunjukkan perlunya tindakan konkret untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan mendukung. ToT #BalasBaik diinisiasi sebagai respons atas kondisi yang memprihatinkan tersebut. Gerakan sosial ini berupaya menghentikan kekerasan dalam pendidikan melalui aksi kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Program ini pertama kali diperkenalkan kepada 250 peserta Indonesia Student & Youth Forum Angkatan 12 pada tahun 2024 dan mendapat respons positif. Kegiatan ToT akhir pekan lalu berlangsung selama satu hari dengan berbagai sesi pelatihan yang interaktif. Para peserta diberikan wawasan dan keterampilan fasilitasi melalui pendekatan experiential learning. Materi yang disampaikan meliputi : Melalui ToT ini, diharapkan akan lahir 20 fasilitator baru yang siap menjadi agen perubahan dalam mengkampanyekan budaya anti-kekerasan di dunia pendidikan. Dengan pendekatan yang kolaboratif dan partisipatif, #BalasBaik diharapkan dapat menjadi gerakan nasional yang menginspirasi perubahan positif. Founder RGBK, Ana Susanti, menegaskan bahwa gerakan ini hanya akan berhasil jika dilakukan bersama-sama. “Kekerasan bisa dihentikan dengan kebaikan. Jika kita semua mengambil peran, pendidikan tanpa kekerasan bukan lagi sekadar impian,” ujarnya. ToT #BalasBaik menjadi langkah awal dari upaya panjang menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, inklusif, dan mendukung perkembangan anak-anak Indonesia secara positif.
KGSB Diskusikan Tantangan Pendidikan Hadapi Fenomena LGBT
Rekomendasikan standarisasi kebijakan sosialisasi yang melibatkan pendekatan multidisipliner, pelatihan guru, serta harmonisasi nilai inklusif dan budaya lokal, dengan materi edukatif yang terstruktur untuk mendukung pemahaman dan intervensi yang efektif di sekolah. Senin, 17 Februari 2025 – Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk “Fenomena LGBT di Kalangan Generasi Muda, Tantangan dan Peran Pendidikan”, yang dihadiri lebih dari 200 guru dari 30 provinsi serta orang tua murid. Selain itu, dipaparkan juga hasil pra-survei internal KGSB yang menggambarkan pandangan dan pengalaman guru terkait sosialisasi dan edukasi mengenai fenomena LGBT di sekolah. Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Founder Rumah Guru BK & Widyaiswara di PPSDM Kemdikdasmen Ana Susanti, M.Pd., CEP., CHt., serta dosen Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., Psikolog,. Dalam sambutannya, Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menegaskan pentingnya webinar ini dalam memberikan wawasan bagi pendidik dan orang tua tentang fenomena LGBT serta bagaimana dunia pendidikan dapat berperan dalam menanganinya. “Kami berharap forum ini menjadi wadah diskusi yang konstruktif guna merumuskan pendekatan yang lebih efektif dan humanis dalam pendidikan,” ujarnya. Survei KGSB: Semakin Banyak Sekolah Lakukan Edukasi tentang Fenomena LGBT Founder KGSB Ruth Andriani, menyoroti bahwa fenomena LGBT merupakan isu sensitif, tetapi tidak bisa diabaikan. Survei internal yang dilakukan KGSB pada 3-11 Februari 2025 terhadap 200 responden dari 30 provinsi menunjukkan keberagaman pandangan guru. Sebagian besar menunjukkan sikap penolakan, namun juga terdapat sikap yang netral dan sedikit penerimaan. Hasil survei menunjukkan bahwa 56,5% sekolah telah melakukan sosialisasi terkait fenomena LGBT dalam berbagai bentuk. Mayoritas sosialisasi dilakukan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) dan pendekatan berbasis agama. Sementara 43,5% sekolah lainnya belum memiliki program sosialisasi khusus, umumnya karena menunggu arahan dari pemerintah atau hanya menyisipkan materi dalam pembelajaran lain seperti pacaran sehat atau kesehatan reproduksi. Sekolah yang telah melakukan sosialisasi menerapkan berbagai metode, seperti diskusi kelompok dalam layanan BK, seminar dengan narasumber eksternal seperti psikolog dan lembaga perlindungan anak, serta penyuluhan dalam bentuk ceramah dan debat di kelas. Beberapa sekolah juga mengintegrasikan materi LGBT dalam mata pelajaran seperti kesehatan reproduksi dan kajian agama, sementara sebagian lainnya mengandalkan media kampanye seperti poster, pamflet, dan video edukatif. “Perbedaan pendekatan ini mencerminkan perlunya standar kebijakan yang lebih jelas bagi sekolah dalam menangani isu LGBT,” ujar Ruth memberi penegasan. Fenomena LGBT dan Tantangan di Dunia Pendidikan Dalam paparannya, Widyaiswara di PPSDM Kemdikdasmen Ana Susanti, M.Pd., CEP., CHt., menjelaskan bahwa fenomena LGBT di kalangan generasi muda semakin meningkat akibat berbagai faktor seperti perubahan norma sosial, eksposur media, dan faktor psikologis. Ia menegaskan pentingnya memahami penyebab dan dampaknya agar pendidik dan orang tua dapat memberikan bimbingan yang tepat. Mengutip berbagai referensi, menurutnya ada beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan LGBT pada individu. Antara lain ketidakseimbangan hormon dalam tubuh, lingkungan sosial dan pergaulan yang memberikan pengaruh terhadap orientasi seksual, serta pengalaman traumatis seperti kekerasan atau pelecehan yang dapat menjadi pemicu. Psikolog Ulifa Rahma menjelaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi faktor yang kompleks, termasuk aspek biologis, psikologis, dan sosial. Faktor sosial yang berperan mencakup pola asuh keluarga, dinamika lingkungan, serta tingkat dukungan emosional yang diterima individu. Ia juga menyoroti pentingnya peran guru dan orang tua dalam memahami serta mendukung perkembangan psikososial anak. Beberapa tanda yang dapat dikenali meliputi perubahan dalam interaksi sosial yang mencerminkan eksplorasi identitas diri, tingkat kecemasan atau tekanan emosional yang meningkat, serta keterlibatan terhadap komunitas tersebut. Namun, tanda-tanda ini tidak bersifat universal dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu serta lingkungan sosial. Ana Susanti juga menyoroti dampak yang dapat timbul akibat paparan LGBT pada siswa. Antara lain terganggunya kesehatan mental individu, penurunan prestasi akademik akibat tekanan psikologis. Selain itu, risiko menerima diskriminasi dan isolasi sosial juga dapat dialami oleh mereka yang teridentifikasi sebagai LGBT. Strategi Pendidikan dalam Menyikapi Fenomena LGBT Sebagai garda terdepan dalam pendidikan, guru dan sekolah, dengan dukungan dan peran dari orang tua, memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan LGBT di kalangan generasi muda. Ana Susanti menegaskan bahwa meskipun fenomena ini menjadi tantangan, dunia pendidikan dapat mengambil peran strategis dalam memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa, guru, dan orang tua. Salah satu langkah yang bisa diterapkan adalah menanamkan nilai-nilai agama dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Juga mendorong kebersamaan dan interaksi sosial yang sehat melalui gotong royong, serta membangun sikap saling menghargai tanpa diskriminasi, namun tetap dalam koridor norma yang berlaku. Selain itu, guru dan sekolah memiliki peran penting dalam memberikan pendampingan kepada siswa dengan membangun komunikasi yang baik. Juga mencegah diskriminasi di lingkungan sekolah, melibatkan guru BK dalam proses bimbingan, serta menyediakan layanan konseling bagi siswa yang membutuhkan bimbingan lebih lanjut. Ulifa Rahma menekankan bahwa orang tua memiliki peran krusial dalam membentuk pemahaman anak terhadap identitas diri sejak dini. Dukungan dapat diberikan melalui pengawasan yang bijak tanpa tekanan berlebihan, komunikasi dua arah, pola asuh otoritatif, penciptaan lingkungan keluarga yang harmonis, serta pencegahan kekerasan dalam rumah tangga yang berpotensi merugikan kondisi psikologis anak. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat juga berperan penting. Program edukasi dari puskesmas, kegiatan sekolah, kerja sama aktif antara orang tua dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, sehingga remaja dapat memahami identitas mereka dengan sehat dan positif. Kesimpulan dan Rekomendasi Webinar Sebagai hasil dari webinar, KGSB mengusulkan beberapa langkah konkret untuk memperkuat strategi komunikasi dan edukasi di sekolah: Dengan adanya strategi komunikasi dan edukasi yang tepat, dunia pendidikan diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih baik bagi siswa, sehingga mereka dapat menghadapi fenomena LGBT dengan perspektif yang kritis, terbuka, dan tetap berlandaskan pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.