Komitmen KGSB Dalam Pendidikan Berbasis Literasi Jakarta, 14 Desember 2024 — Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) kembali menghadirkan karya inspiratif melalui peluncuran buku berjudul Cerita Anak Khatulistiwa. Buku hasil karya 27 guru dari berbagai daerah di Indonesia dan Timor Leste ini, diluncurkan secara resmi di SDN Lenteng Agung 09, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/12/2024). Acara tersebut sekaligus menjadi momen perayaan Hari Dongeng Nasional yang jatuh pada 28 November, serta hari jadi KGSB yang ketiga pada 18 Desember 2024. Peluncuran Buku Cerita Anak Khatulistiwa diikuti dengan pembacaan cerita secara langsung oleh para guru dari SDN Lenteng Agung 09 serta para penulis anggota KGSB. Sebagai bagian dari persiapan peluncuran, KGSB telah mendistribusikan donasi buku melalui program ‘Berbagi Buku untuk Sekolah’ kepada lebih dari 200 sekolah anggota KGSB yang tersebar di Indonesia dan Timor Leste. Buku Cerita Anak dari Khatulistiwa ditujukan untuk anak usia 10-13 tahun dan dirancang sebagai media pembelajaran yang menarik, mendidik, serta memperkenalkan kekayaan budaya lokal. Dedikasi KGSB untuk Pendidikan Berbasis Literasi Melalui peluncuran buku Cerita Anak Khatulistiwa, KGSB menegaskan kembali komitmennya untuk mendukung pendidikan berbasis literasi. Langkah ini diharapkan mampu mendorong semangat membaca dan cinta belajar di kalangan anak-anak, sekaligus memperkuat tradisi mendongeng sebagai sarana pendidikan karakter. Pada sambutannya, Founder KGSB, Ruth Adriani mengungkapkan rasa syukur dan apresiasi atas kontribusi para guru yang berpartisipasi dalam penyusunan buku antologi ini. “Dengan penuh kebanggaan, kami persembahkan buku Cerita Anak Khatulistiwa sebagai hasil kerja keras para guru hebat di KGSB. Kami berharap buku ini dapat menjadi upaya untuk melestarikan budaya lokal Indonesia serta budaya membaca sejak dini pada anak”, ujar Ruth. Secara khusus, ia memberikan apresiasi kepada para guru yang dengan dedikasi tinggi berhasil menyelesaikan tugas menulis cerita anak berbasis budaya lokal. Proses kreatif buku Cerita Anak Katulistiwa berjalan selama 3 bulan, dimulai sejak September 2024 melalui seminar, presentasi outline, hingga bimbingan intensif pada Oktober 2024. Melalui riset budaya dan sejarah lokal, para guru telah berhasil menciptakan karya sastra yang tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga melengkapi proses pembelajaran di sekolah. Ruth berharap karya para guru anggota KGSB ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk terus mendukung gerakan literasi di Indonesia. Ia berharap, buku Cerita Anak Katulistiwa bisa menjadi awal dari lebih banyak kontribusi nyata dalam memajukan pendidikan dan memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada generasi penerus. Wakil Kepala Sekolah SDN Lenteng Agung 09, Elly Putriandari selaku tuan rumah acara, turut mengungkapkan rasa terima kasih atas kontribusi KGSB. Ia menyampaikan harapannya agar program Klub Literasi KGSB dapat memotivasi lebih banyak penulis dari kalangan guru dan siswa. “Kami berharap kerja sama ini dapat melahirkan lebih banyak penulis baru. Guru sebagai figur teladan memiliki peran penting dalam menanamkan semangat literasi”, ungkap Elly. Membangun Tradisi Mendongeng dan Semangat Literasi Buku Antologi Cerita Anak Khatulistiwa berisi dongeng penuh imajinasi yang mengangkat nilai moral, tradisi lokal, dan kisah-kisah budaya yang jarang dikenal. Setiap cerita menyajikan nilai moral yang relevan bagi anak-anak, sekaligus memperkenalkan mereka pada kekayaan budaya yang ada di sekitar mereka. Melalui cerita-cerita yang diangkat, KGSB berharap dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap warisan budaya Indonesia yang kaya dan beragam. Langkah ini menjadi upaya nyata KGSB untuk menghadirkan buku-buku berkualitas bagi anak-anak sekaligus mendorong pemahaman akan budaya lokal. Buku Cerita Anak Katulistiwa diharapkan mampu menjadi media untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada generasi penerus, sekaligus mendorong semangat literasi dan cinta belajar di kalangan anak-anak. Proses kreatif yang dilakukan para guru menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga cara untuk memperkuat karakter dan identitas bangsa. Peluncuran buku Cerita Anak Katulistiwa juga menjadi momen penting untuk memperkuat tradisi mendongeng sebagai sarana pendidikan karakter, serta merayakan kontribusi para guru sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan. Sejak tahun 2021, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) telah berkomitmen untuk meningkatkan kompetensi literasi di kalangan guru melalui berbagai program pelatihan. Program pelatihan penulisan buku merupakan bagian dari kegiatan Klub Literasi KGSB, yang telah menghasilkan karya-karya inspiratif sejak didirikan pada tahun 2021. Sebelumnya, Klub Literasi KGSB telah menerbitkan dua buku seri antologi praktik baik pada tahun 2023 yang berjudul ‘Inovasi & Kreativitas Guru dalam Mewujudkan Merdeka Belajar’ serta ‘Pencegahan dan Penanganan Cyberbullying di Lingkungan Sekolah’ Kedua buku tersebut juga didistribusikan secara gratis kepada 150 sekolah di Indonesia dan Timor Leste sebagai bagian dari upaya menyebarkan wawasan dan pengalaman praktis yang bermanfaat. Melalui program-program tersebut, KGSB terus menunjukkan perannya dalam meningkatkan literasi, mendukung kreativitas guru, dan memperkaya sumber belajar bagi anak-anak Indonesia.
Waspada Kriminalisasi Guru, Pahami Perlindungan Hukum bagi Tenaga Pendidik
KGSB dukung pembentukan paralegal sebagai langkah advokasi dalam pendampingan tenaga pendidik yang alami masalah hukum di lapangan. Jakarta, 17 November 2024 – Kasus kriminalisasi guru di Indonesia terus menjadi perhatian publik. Berbagai insiden kekerasan hingga pemolisian terhadap tenaga pendidik dalam konteks pengajaran dan pendisiplinan siswa menunjukkan betapa rentannya profesi guru terhadap permasalahan hukum. Untuk memperkuat pemahaman hukum dan advokasi bagi guru, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk “Waspada Kriminalisasi Guru, Pahami Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Pendidik”. Kegiatan ini diadakan secara daring dan diikuti lebih dari 200 peserta, baik anggota maupun non-anggota KGSB. Pendiri KGSB, Ruth Andriani, menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Menurutnya, banyak kasus kriminalisasi terjadi akibat kurangnya pemahaman akan batasan pendisiplinan siswa. “Dukungan hukum yang jelas diperlukan agar tindakan pendisiplinan tidak disalahartikan sebagai tindak kriminal. Namun, guru juga harus memahami batasan agar tidak terjadi kekerasan, baik fisik maupun verbal,” ujarnya. Mantan Direktur YLBHI, Asfinawati, yang kini aktif mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menjelaskan bahwa perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, implementasinya di lapangan sering kali tidak berjalan sesuai harapan. “Hukum sudah cukup kuat untuk melindungi guru, tetapi sering kali terjadi salah penerapan hukum acara pidana,” katanya. Pembentukan Paralegal sebagai Solusi Sebagai langkah konkret, Asfinawati merekomendasikan pembentukan paralegal bagi guru. Paralegal adalah individu dengan keterampilan hukum yang dapat memberikan bantuan hukum awal sebelum guru mendapatkan pendampingan dari pengacara. Mengingat banyaknya guru yang bertugas di daerah terpencil dengan akses hukum terbatas, keberadaan paralegal dinilai sangat penting. “Paralegal bisa membantu menyusun kronologi, mendampingi di proses kepolisian, hingga memberikan konsultasi non-litigasi,” jelasnya. Selain itu, ia juga mengusulkan kerja sama antara organisasi guru dan kepolisian melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) guna melindungi guru dalam menjalankan tugasnya. Di tingkat sekolah, perlu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) yang tidak hanya bertugas melindungi guru, tetapi juga siswa dari potensi perundungan, pelecehan seksual, dan ancaman lainnya. Batasan Pendisiplinan agar Tidak Melanggar Hukum Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, menambahkan bahwa multitafsir hukum sering kali menjadi pemicu kriminalisasi guru. Oleh karena itu, pemahaman mengenai hukum dan batas-batas interaksi dengan siswa sangat penting. “Guru harus melakukan refleksi terlebih dahulu sebelum bertindak agar tidak melanggar aturan,” ujarnya. Asfinawati juga mengingatkan bahwa tindakan disiplin tidak boleh melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis, karena hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai alternatif, ia merekomendasikan bentuk hukuman sosial yang lebih mendidik, seperti tugas komunitas atau aktivitas sosial. “Inspirasi tindakan pendisiplinan harus dipikirkan ulang, agar tidak hanya sesuai hukum tetapi juga tetap memberikan nilai pendidikan bagi siswa,” katanya. Webinar ini menyoroti pentingnya kode etik profesi guru sebagai pedoman dalam menangani kasus hukum terkait pendisiplinan. “Kode etik ini akan membantu pihak hukum dalam menilai apakah tindakan guru masuk kategori pelanggaran hukum atau tidak,” jelas Asfinawati. Acara ditutup dengan ajakan kepada semua pihak untuk berperan aktif dalam mendukung tenaga pendidik. “Tidak ada kebebasan tanpa usaha. Perlindungan hukum bagi guru harus diperjuangkan agar mereka dapat mendidik dengan aman dan nyaman,” pungkas Asfinawati. Dengan webinar ini, KGSB berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak guru serta mendorong dialog konstruktif demi menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik di Indonesia.
KGSB Beri Solusi Teacher Burnout
Mengenali batas diri, meluangkan waktu untuk istirahat, berbagi cerita dengan rekan, serta menjaga hubungan baik dengan keluarga adalah langkah utama dalam menghindari teacher burnout. Jakarta, 26 Oktober 2024 – Guru sering menghadapi tekanan kerja tinggi yang berujung pada burnout, kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental yang dapat berdampak pada kualitas pengajaran. Untuk membantu mengatasi masalah ini, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bersama Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya, dan Tupperware Indonesia mengadakan webinar bertajuk “Jaga Kesehatan Mental Guru, Waspadai Gejala dan Dampak Teacher Burnout” pada Sabtu (26/10). Acara tersebut memberikan solusi nyata bagi guru untuk mengenali gejala burnout lebih awal serta strategi dalam menjaga kesehatan mental mereka. Webinar yang diikuti lebih dari 200 tenaga pendidik dari Indonesia dan Timor Leste itu diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober. Tema global tahun ini, “Saatnya Mengutamakan Kesehatan Mental di Tempat Kerja” (It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace), sejalan dengan tantangan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugas mereka. Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menegaskan bahwa kesehatan mental guru harus menjadi prioritas utama. “Guru adalah ujung tombak pendidikan di sekolah. Namun, tanpa kesehatan mental yang baik, mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. Webinar ini diharapkan dapat menjadi refleksi dan pengingat bagi guru untuk selalu menjaga keseimbangan emosi dan mental mereka,” ujarnya. Kesehatan mental guru memegang peran krusial dalam menentukan kualitas pembelajaran di sekolah. Guru yang stabil secara emosional dan mampu mengelola stres dapat menciptakan suasana belajar yang lebih baik dan produktif bagi siswa. Webinar ini juga memberikan strategi bagi para guru untuk menjaga kesehatan mental dan memastikan lingkungan belajar yang kondusif. Burnout Bukan Hanya Lelah Fisik Burnout pada guru bukan hanya kelelahan fisik, tetapi juga tekanan emosional yang kerap tidak disadari. Dalam survei RAND Corporation tahun 2022, 73% guru melaporkan mengalami stres kerja, 59% merasa burnout, dan 28% mengaku mengalami gejala depresi. Lebih dari itu, 77% guru merasa kondisi kesehatan mental mereka berdampak negatif pada siswa, dan 85% menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran mereka terpengaruh akibat burnout. Dalam webinar ini, Naila Kamaliya, M.Psi., Psikolog, dosen Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya, membahas secara mendalam tentang penyebab dan cara mengatasi burnout. Ia menekankan pentingnya mengenali batas diri, meluangkan waktu untuk istirahat, berbagi cerita dengan rekan, serta menjaga hubungan baik dengan keluarga sebagai langkah utama menghindari burnout. “Ketika guru merasa didukung dan memiliki waktu untuk istirahat, mereka akan lebih mampu menghadapi tantangan mengajar dengan tenang dan penuh energi,” jelas Naila. Webinar ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan KGSB dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik. Melalui kolaborasi dengan Universitas Brawijaya dan Tupperware Indonesia, KGSB berkomitmen tidak hanya pada pengembangan kompetensi akademik guru, tetapi juga kesehatan mental mereka. Head of Marketing PT Tupperware Indonesia, Maretta Ria Netty, menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh kegiatan ini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan dalam bidang pendidikan. “Kami terus memperhatikan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Menjaga kesehatan mental guru merupakan salah satu faktor penting dalam proses belajar-mengajar. Tupperware Indonesia berkomitmen mendukung kegiatan ini dan sangat senang dapat berkolaborasi dengan KGSB serta Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya,” ujar Maretta. Dengan adanya webinar ini, diharapkan semakin banyak guru yang menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental mereka, sehingga dapat terus menginspirasi dan mendidik generasi penerus dengan semangat dan energi positif.
Kelas Penulisan Cerita Anak Khatulistiwa
KGSB mengajak para pendidik untuk terus meningkatkan literasi dan terbiasa melakukan riset dengan membaca banyak literatur guna memperkaya wawasan sebagai bekal dalam penulisan buku. Jakarta, 14 September 2024 – Dalam upaya meningkatkan keterampilan menulis cerita anak bagi tenaga pendidik, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar Kelas Penulisan Cerita Anak Khatulistiwa. Kegiatan ini bertujuan membekali guru dengan keterampilan menulis yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan penguatan literasi di sekolah. Pelatihan yang berlangsung secara daring ini diadakan dalam dua sesi pada 14 dan 28 September 2024, disertai pendampingan selama satu bulan hingga buku siap diterbitkan pada November 2024. Hasil tulisan para peserta kemudian dihimpun dalam buku antologi “Cerita Anak Khatulistiwa” yang dibagikan secara gratis ke puluhan sekolah PAUD dan SD di Indonesia serta Timor Leste. Peserta kelas penulisan ini adalah anggota KGSB yang telah lolos seleksi dan berasal dari berbagai daerah. Mereka mendapatkan bimbingan langsung dari para penulis dan praktisi cerita anak. Yakni Angela Corine Kennedy, M.Pd, seorang pendongeng dan penulis buku anak dan penerima Penghargaan Kemendikbudristek RI 2023 serta Juara 2 Duta Baca Provinsi Bangka Belitung 2018. Selain itu mereka juga mendapatkan pembekalan dari Titik Kartitiani, jurnalis senior yang juga aktif menulis cerita anak, serta Ririn Astutiningrum, penulis multi-genre dari WIN. Dalam sambutannya, Founder KGSB, Ruth Andriani, menyampaikan bahwa kelas ini diharapkan dapat membantu para guru dalam menciptakan karya tulis berkualitas yang relevan dengan budaya dan keseharian anak-anak. “Kami ingin membekali guru dengan keterampilan menulis yang tidak hanya bermanfaat untuk mereka, tetapi juga bagi anak-anak yang akan membaca karya mereka,” ujarnya. Ruth menyadari, tantangan untuk membuat buku anak memang tidak mudah, karena perlu menggunakan tutur kata yang sederhana dan mudah dipahami, namun tetap bisa memberikan pengetahuan bagi anak. Ia berharap, melalui buku dongeng yang tercipta dari KGSB, anak akan semakin cinta dan lebih mengenal budaya asal mereka berada serta menghargai perbedaan budaya yang ada. Angela Corine, penulis buku anak “Kiki si Koki”, menekankan pentingnya menulis dengan perspektif anak dan menghindari penggunaan bahasa yang terlalu kompleks atau bersifat menggurui. “Anak-anak harus dapat memahami dan menikmati cerita yang kita buat. Menulis bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang membangun imajinasi mereka,” katanya. Agar anak tertarik menikmati buku yang ditulis hingga selesai, ia menekankan pentingnya menghindari nasihat yang terlalu berlebihan, penggunaan tokoh anak-anak dengan dialog yang tidak sesuai dengan usia mereka, serta penyelesaian konflik dalam cerita yang sepenuhnya dilakukan oleh orang dewasa. “Saya sangat mendukung kegiatan pelatihan penulisan dongeng dari KGSB ini, terlebih saya sendiri juga seorang guru seperti para peserta pelatihan ini. Kita bisa mengenal dunia dengan membaca. Namun dengan menulis, kita bisa mengenal diri kita sendiri. Jadi menulislah dengan gembira. Selamat menulis,” ujar Angela memberikan motivasi kepada para peserta guru di kelas pelatihan penulisan dongeng KGSB. “Saya bersyukur mendapat kesempatan mengikuti kelas pelatihan penulisan KGSB. Saya ingin belajar menulis cerita anak yang dapat digunakan sebagai alat mengajar bagi anak didik kami di sekolah,” ujar Hastati, peserta dari UPT SPF SDN Mongisidi II Makassar. Meningkatkan Literasi dan Pengayaan Konten Lokal Kelas Penulisan KGSB merupakan bentuk kepedulian atas masih minimnya buku-buku anak berkualitas dengan tema yang mengangkat budaya, sejarah, serta berbagai konten lokal melalui sudut pandang berbeda. Melalui kegiatan ini, KGSB mengajak para pendidik untuk terus meningkatkan literasi dan terbiasa melakukan riset dengan membaca banyak literatur guna memperkaya wawasan dalam buku yang akan mereka tulis bersama. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari program Klub Literasi KGSB yang telah berjalan sejak 2022. Sebelumnya, KGSB telah menerbitkan dua seri buku antologi yang mengangkat tema inovasi pembelajaran dan pencegahan cyberbullying di sekolah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca dan menulis di kalangan tenaga pendidik. Dengan terselenggaranya Kelas Penulisan Cerita Anak Khatulistiwa, diharapkan semakin banyak tenaga pendidik yang mampu menghasilkan karya tulis bermutu, sekaligus memperkaya bahan bacaan bagi anak-anak Indonesia dan Timor Leste. “Menulis adalah bagian dari perjalanan belajar, dan kami berharap program ini dapat menjadi langkah awal bagi para guru untuk terus berkarya,” pungkas Ruth.
Strategi Manajemen Kelas dan Emosi bagi Guru
Demi menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan meningkatkan efektivitas pembelajaran, baik guru maupun murid perlu memiliki keterampilan emosional agar lingkungan belajar menjadi nyaman bagi semua pihak Jakarta, 18 Juni 2024 – Mengelola kelas secara efektif menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik. Tidak hanya mengatur keteraturan dan disiplin, guru juga harus mampu mengelola emosi agar dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif. Untuk itu, penting bagi guru memiliki keterampilan dalam manajemen kelas serta pengendalian emosi guna meningkatkan efektivitas pembelajaran. Menyadari kebutuhan ini, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan TeacherTalent, Karier.mu, dan Kampus Guru Cikal menggelar webinar bertajuk “Ruang Belajar Bajik: Strategi Mengelola Kelas dan Manajemen Emosi bagi Guru dalam Kelas” pada Sabtu, 15 Juni 2024. Acara daring ini menghadirkan Neneng Nurbaeti, Koordinator Program Unit Kampus Guru Cikal, sebagai pemateri utama dan diikuti lebih dari 200 tenaga pendidik dari Indonesia serta Timor Leste. Koordinator Program KGSB, Riki M. Iskandar, menjelaskan bahwa webinar ini bertujuan untuk membekali guru dengan keterampilan praktis dalam mengelola kelas dan mengendalikan emosi. “Dengan manajemen kelas dan pengelolaan emosi yang baik, guru dapat meningkatkan kualitas pengajaran serta membangun hubungan yang lebih positif dengan siswa. Ini juga berkontribusi pada keterlibatan siswa yang lebih baik dan suasana kelas yang harmonis,” ujarnya. Dalam sesi pemaparan, Neneng Nurbaeti menjelaskan berbagai strategi praktis dalam manajemen kelas. Mulai dari teknik menjaga keteraturan dan disiplin, meningkatkan partisipasi siswa, hingga membangun lingkungan kelas yang inklusif dan suportif. Selain itu, guru juga diajarkan teknik mengendalikan emosi dalam menghadapi situasi stres di kelas serta cara membangun komunikasi yang efektif dan empatik dengan siswa. Pengelolaan Kelas Tanggung Jawab Bersama Salah satu poin utama yang ditekankan dalam webinar adalah bahwa pengelolaan kelas bukan hanya tugas guru, tetapi juga melibatkan murid. “Guru dan murid sama-sama perlu memiliki keterampilan emosional agar lingkungan belajar menjadi nyaman bagi semua pihak,” kata Neneng. Untuk itu, murid didorong untuk berpartisipasi aktif dalam menyusun kesepakatan kelas serta membiasakan pola komunikasi positif. Dengan demikian, mereka merasa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu, Neneng memberikan pembekalan terkait kompetensi sosial dan emosional yang perlu ditanamkan kepada siswa, yakni self-awareness, self-management, social awareness, relationship skills, dan responsible decision-making. Murid diajarkan untuk mengenali emosi diri, mengelola waktu dan tujuan, memahami perspektif orang lain, membangun hubungan yang sehat, serta membuat keputusan yang bertanggung jawab. Dengan pemahaman dan penerapan strategi manajemen kelas yang tepat, diharapkan guru dapat menciptakan suasana belajar yang lebih efektif dan menyenangkan bagi siswa. Webinar ini menjadi salah satu langkah nyata dalam meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah-sekolah Indonesia dan Timor Leste.
Pelatihan Psychological First Aid (PFA) Batch II
PFA bertujuan untuk mengembalikan rasa aman pada individu yang terkena dampak musibah, serta membantu mereka untuk merasa mampu mengatasi keadaan tersebut. Tindakan ini sangat fleksibel dan bisa memberikan dukungan sesegera mungkin. Jakarta, 11 Mei 2024 – Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) kembali mengadakan Pelatihan Psychological First Aid (PFA) Batch II untuk meningkatkan kemampuan tenaga pendidik dalam menangani masalah kesehatan mental siswa,. Pelatihan ini dilaksanakan secara daring pada tiga sesi berturut-turut yang berlangsung pada 27 April, 4 Mei, dan 11 Mei 2024. Acara tersebut merupakan kerja sama antara KGSB, Konsultan Psikologi Pelangi, serta alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam rangka Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ke-64. Berdasarkan penelitian Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10–17 tahun mengalami masalah kesehatan mental, dengan gangguan yang paling sering ditemui adalah kecemasan, fobia sosial, depresi, PTSD, dan ADHD. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi dunia pendidikan, mengingat hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia ini. Masalah kesehatan mental pada siswa i dapat menyebabkan gangguan emosi, sulit berkonsentrasi, stress, hingga depresi. Pelatihan PFA KGSB Batch II bertujuan memberikan keterampilan dasar kepada para guru agar dapat memberikan pertolongan pertama bagi siswa yang mengalami gangguan mental. Keterampilan ini sangat penting, mengingat peran sekolah dan guru sangat besar dalam memberikan dukungan psikologis awal (DPA) bagi siswa yang membutuhkan. Bagaimana Cara Melakukan Psychological First Aid (PFA)? Pelatihan ini berfokus pada pengenalan prinsip dasar PFA melalui metode “Look, Listen, dan Link” yang dapat diterapkan dalam situasi darurat psikologis. “Satu hal yang harus dihindari saat memberikan konseling adalah memberi asumsi dan label tertentu pada siswa. Selain itu, jangan sekali-kali kita meremehkan siswa dan bagaimana reaksinya,” tegas Reneta. Selama sesi roleplay pada 4 Mei, peserta dibagi ke dalam kelompok kecil dan diminta untuk mempraktikkan komunikasi yang baik dan buruk dalam konteks konseling kesehatan mental. Dalam simulasi ini, para peserta berperan sebagai guru dan siswa untuk belajar bagaimana cara memberikan pertolongan pertama yang efektif. Prinsip dasar yang diterapkan adalah ‘Look, Listen, dan Link’. Peserta diberikan kesempatan untuk berlatih memberikan pertolongan pertama dalam situasi yang berbeda, dan memperoleh feedback langsung dari fasilitator. Selain itu, para peserta juga diberikan tugas untuk melakukan praktik mandiri di lingkungan sekitar mereka, baik dengan siswa, keluarga, atau kerabat. Praktik ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman dan keterampilan peserta dalam menghadapi situasi darurat psikologis. Reneta Kristiani, M.Psi, Psikolog dan Founder Konsultan Psikologi Pelangi, menjelaskan bahwa tujuan dari PFA adalah untuk mengembalikan rasa aman pada individu yang terkena dampak musibah, serta membantu mereka untuk merasa mampu mengatasi keadaan tersebut. Pentingnya Peran Guru dalam Kesehatan Mental Siswa “Kami berharap pelatihan ini tidak hanya memberikan keterampilan praktis, tetapi juga meningkatkan kesadaran para pendidik akan pentingnya peran mereka dalam mendukung kesehatan mental siswa,” ujar Ruth Andriani, Founder KGSB. “Kami memang ingin menjaring peserta sebanyak mungkin dan dari latar belakang yang lebih beragam untuk diberikan pembekalan dan pelatihan PFA. Kami berharap, semua orang, tak harus tenaga psikolog profesional, seharusnya memiliki perhatian terhadap potensi gangguan mental pada anak, serta bisa melakukan tindakan PFA untuk menyelamatkan kesehatan mental mereka seawal mungkin,”lanjutnya. Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog dari Konsultan Psikologi Pelangi mengatakan, tindakan PFA dapat dilakukan kapan saja, idealnya segera setelah musibah atau krisis. “PFA ini sangat fleksibel, dan yang terpenting adalah memberikan dukungan sesegera mungkin, bahkan jika baru terdeteksi setelah beberapa hari atau minggu.” Pelatihan PFA Batch II ini diikuti oleh 80 guru dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk PAUD, SMA, SMK, hingga Sekolah Luar Biasa (SLB), serta beberapa peserta dari Timor Leste. Dengan harapan, semakin banyak pendidik yang dilatih untuk melakukan PFA, sehingga mereka dapat berkontribusi secara langsung dalam mendeteksi dan menangani masalah kesehatan mental siswa di sekolah. Dengan semakin banyaknya tenaga pendidik yang terlatih, diharapkan langkah awal untuk membantu siswa dengan gangguan mental dapat dilakukan lebih cepat dan efektif, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung kesehatan mental siswa.
Bagaimana SOP Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Sekolah?
Dengan lebih dari setengah kasus kekerasan di sekolah berupa kekerasan seksual yang melibatkan anak, diperlukan SOP yang jelas dan dukungan penuh dari guru untuk memutus rantai kekerasan. Langkah pencegahan dan penanganan yang berorientasi pada korban dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi seluruh siswa. Jakarta, 25 Februari 2024 – Kekerasan seksual di sekolah yang melibatkan anak terus meningkat. Data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per Agustus 2023 menunjukkan bahwa dari 723 kasus kekerasan di satuan pendidikan, 487 kasus merupakan kekerasan seksual. Dalam rangka memberikan panduan penanganan, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya menggelar webinar bertajuk “Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah” pada Sabtu, 24 Februari 2024. Webinar ini diikuti oleh 279 peserta, termasuk guru dari Indonesia dan Timor Leste. Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, menyatakan, “Peningkatan peran guru menjadi prioritas kami dalam memberikan edukasi terkait langkah-langkah tepat menangani kekerasan seksual di sekolah.” Memahami SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual di sekolah diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. SOP ini menekankan prinsip Psychological First Aid (PFA) yang meliputi lima langkah utama: safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate. Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKSP) STH Indonesia Jentera, Reny Rawasita Pasaribu, S.H., LL.M, menjelaskan, “Permendikbudristek PPKSP telah memberikan definisi yang jelas terkait berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ini untuk mendukung pencegahan dan penanganan yang efektif.” Definisi kekerasan seksual, sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat 1 Permendikbudristek PPKSP, adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang akibat ketimpangan relasi kuasa atau gender. Perbuatan tersebut dapat menyebabkan penderitaan psikis, fisik, atau gangguan kesehatan reproduksi, serta menghilangkan kesempatan korban untuk menjalani pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal. Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud antara lain: Selain itu, masih terdapat belasan bentuk kekerasan seksual lainnya, termasuk percobaan perkosaan dan perdagangan manusia. Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga memastikan tidak ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi serta penyediaan sarana dan prasarana. Terkait dengan itu, dalam pasal 24 aturan tersebut terdapat ketentuan agar satuan pendidikan membentuk tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tugas tim ini meliputi penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan rekomendasi, dan tindak lanjut pemulihan. “Nah di sinilah SOP menjadi sangat penting karena memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada TPPK dan Kepala Satuan Pendidikan. SOP juga menjamin proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi, dan semua pihak yang terlibat,” tambah Reny. Dengan adanya SOP, lingkungan pendidikan menunjukkan keseriusan dalam penanganan kekerasan seksual untuk memastikan kasus serupa tidak terulang. Peran Guru sebagai Pendamping Korban Ketua Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual Universitas Brawijaya, Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menekankan pentingnya peran guru dalam memutus rantai kekerasan seksual. Guru dapat bertindak sebagai pendamping (bystander) dengan menerapkan prinsip: Guru juga harus memahami berbagai jenis kekerasan seksual serta landasan hukumnya. Modul panduan, seperti https://s.ub.ac.id/panduanpfa)-3L dan modul PPKS https://s.ub.ac.id/bukupanduanppks) dapat membantu guru meningkatkan kompetensi. Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd, mengimbau agar guru proaktif mencegah kekerasan seksual melalui pembelajaran, pelibatan diri, dan menjadi inisiator perubahan. Sebagai pamungkas, Ulifa mengajak seluruh pelaku dunia pendidikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dengan meningkatkan kesadaran seluruh civitas akademika.
Solusi Cegah Kasus Bunuh Diri pada Remaja
Bagaimana mengenali tanda-tanda suicide attempt yang sering terjadi pada remaja dan apa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Jakarta, 17 Desember 2023 – Kasus bunuh diri, yang kini semakin marak terjadi, menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, terutama di kalangan remaja. Data menunjukkan hampir setengah dari pelaku bunuh diri berusia remaja, dengan angka yang terus meningkat. Untuk itu, sangat penting bagi kita semua untuk mengenali gejala-gejala bunuh diri pada remaja dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang efektif. Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) mengadakan webinar bertajuk “Literasi Kesehatan Mental untuk Pencegahan Kasus Bunuh Diri pada Remaja” pada Sabtu, 16 Desember 2023. Webinar itu diadakan dalam rangka merayakan ulang tahun kedua KGSB dan bertujuan memberikan solusi konkret untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di kalangan pendidik. Webinar menghadirkan dua narasumber ahli, yaitu Ulifa Rahma, S.Psi, M.Psi, Psikolog dan Dosen Prodi Psikologi dari FISIP Universitas Brawijaya, serta Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di Kemendikbud Ristek RI. Para peserta yang terdiri dari lebih 200 orang, termasuk guru, mahasiswa, dan orang tua, mendapatkan wawasan dan solusi dalam upaya preventif terhadap tingginya angka bunuh diri remaja. Tantangan Kesehatan Mental Remaja Menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023), tercatat lebih dari 2.100 kasus bunuh diri, dengan hampir 1.000 di antaranya melibatkan remaja. Secara global, data dari WHO 2019 juga menunjukkan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di kalangan remaja usia 15-29 tahun. Survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada 2022 menambah kecemasan. Dari sejumlah responden yang mereka survei terungkap, 1,4% remaja mengaku memiliki ide untuk bunuh diri, 0,5% sudah merencanakan, dan 0,2% telah melakukan percobaan bunuh diri. Masalah kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan kecemasan, menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja. Hasil survei I-NAMHS menunjukkan bahwa 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental (sering disebut orang dengan gangguan jiwa ODGJ oleh orang-orang di sekitarnya), dan lebih dari sepertiga lainnya (34,9%) menunjukkan tanda-tanda masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Ana Susanti, Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di Kemendikbud Ristek RI memaparkan, faktor-faktor yang memicu masalah kesehatan mental pada remaja antara lain adalah tekanan akademik, pergeseran sosial, pengaruh media sosial, serta harapan orang tua yang sering kali terlalu tinggi. Tanda-tanda masalah kesehatan mental pada remaja dapat dikenali melalui perubahan mood yang drastis, gangguan pola tidur dan makan, penurunan minat dan energi, serta perubahan perilaku yang mencakup penarikan diri dan perilaku merusak. Ulifa Rahma, Psikolog dari Universitas Brawijaya, mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti efikasi diri (kepercayaan diri), penerimaan sosial, dan depresi berkontribusi sebesar 52% terhadap munculnya ide bunuh diri pada remaja. Untuk itu, sangat penting bagi orang tua, guru, dan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda dan gejala yang muncul. Warning Signs Sebagai salah satu prediktor munculnya ide bunuh diri, depresi -yang dalam ilmu psikologi dikenal sebagai Mayor Depressive Disorder(MDD), memiliki beberapa karakteristik. Di antaranya adalah suasana perasaan rendah yang berlangsung hampir di semua situasi, setidaknya selama dua minggu. Gejala ini sering kali disertai dengan rendahnya harga diri, hilangnya minat terhadap aktivitas yang biasanya disukai, penurunan energi, serta munculnya rasa nyeri tanpa penyebab yang jelas. Lebih lanjut, Ulifa Rahma mengungkapkan beberapa respons yang dapat muncul dari remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental. Respons tersebut meliputi menyakiti diri sendiri (self-harm), seperti menyayat kulit, membakar atau membenturkan bagian tubuh, munculnya ide untuk bunuh diri (suicide ideation), kecanduan game dan pornografi, serta kecanduan alkohol. Self-harm sendiri belum tergolong sebagai percobaan bunuh diri, tetapi perilaku ini dapat berkembang menjadi tindakan bunuh diri jika tidak ditangani dengan serius. Ulifa juga memaparkan beberapa “warning signs” atau tanda-tanda peringatan kecenderungan bunuh diri pada remaja yang memerlukan respons cepat dan tepat. Tanda-tanda tersebut meliputi: Bagi pelajar, tanda-tanda lain yang perlu diwaspadai adalah penurunan prestasi akademik, hilangnya minat terhadap sekolah, dan kurangnya interaksi dengan guru maupun teman. Beberapa remaja yang berencana untuk bunuh diri bahkan telah menunjukkan perilaku spesifik, seperti mempersiapkan surat wasiat atau memberikan barang-barang favoritnya kepada orang lain. Selain itu, remaja yang mengalami kesulitan mengungkapkan emosi intens secara verbal sering kali menyalurkannya melalui tulisan atau gambar tentang kematian atau bunuh diri. Tanda-tanda ini memerlukan perhatian serius untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk. Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri memiliki risiko lebih tinggi untuk mengulangi tindakannya. Risiko ini juga meningkat pada anak yang mengalami kehilangan, seperti kesedihan mendalam atau hilangnya hubungan akibat perceraian atau konflik keluarga, penolakan, kekerasan, atau menyaksikan kekerasan. Ulifa Rahma menekankan bahwa sinyal-sinyal tersebut harus ditanggapi dengan serius dan bijak. Jangan pernah mengabaikan ancaman bunuh diri dengan menganggapnya sebagai cara untuk mencari perhatian. Sebaliknya, ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan oleh anak, berikan empati, dan pahami krisis emosional yang sedang dialaminya. Selain itu, berikan dukungan yang sesuai agar anak mampu mengatasi perasaan negatif serta faktor pemicunya. Jika masih merasa ragu atau kurang yakin dalam menangani situasi tersebut, jangan tunda untuk segera merujuk anak kepada profesional, seperti psikolog atau psikiater, untuk mendapatkan bantuan yang tepat. KGSB Berupaya Meningkatkan Literasi Kesehatan Mental Ulifa juga menekankan pentingnya peningkatan literasi kesehatan mental baik di kalangan remaja, guru, maupun orang tua. Literasi ini dapat membantu mereka untuk mengidentifikasi faktor risiko dan melakukan manajemen kesehatan mental secara lebih baik. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang kesehatan mental, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih mendukung bagi remaja dalam mengatasi masalah emosional yang mereka hadapi. Sebagai organisasi yang peduli terhadap isu kesehatan mental, KGSB berkomitmen untuk menjadikan literasi kesehatan mental sebagai prioritas utama dalam pendidikan. Ruth Andriani, pendiri KGSB, menyampaikan bahwa organisasi ini tidak hanya berfokus pada masalah kekerasan seksual dan bullying, tetapi juga berperan aktif dalam peningkatan literasi kesehatan mental. Melalui kegiatan ini, KGSB berharap dapat mencegah semakin banyak remaja yang terjebak dalam krisis emosional, dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan. “Isu Kesehatan Mental menjadi salah satu prioritas KGSB, selain masalah kekerasan seksual dan bullying. Kami mengajak para anggota KGSB untuk berperan aktif dalam membantu meningkatkan literasi kesehatan mental di lingkungan terdekatnya,” tambah Ruth Melalui webinar tersebut, Ruth berharap dapat membuka wawasan bagi lebih banyak pendidik, orang tua,
Mengatasi Generation Gap Guru dan Murid
Jika tidak ditangani dengan baik, kesenjangan generasi antara pengajar dan siswa potensial memicu konflik. Untuk itu, guru perlu meningkatkan ketrampilan sosialnya. Jakarta, 18 November 2023 – Berdasarkan hasil sensus 2020, generasi Z (Gen Z) kini menjadi kelompok penduduk terbesar di Indonesia, mencakup 27,94% dari total populasi. Generasi ini lahir antara tahun 1997-2012 dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan generasi Milenial (kelahiran 1981-1996) yang mencakup 25,87%. Gen Z, yang sering disebut sebagai “Zoomers,” tumbuh di era digital sehingga memiliki keterampilan bawaan dalam menavigasi media digital dan internet. Pengelompokan generasi dari baby boomer hingga Gen Z, dan kini generasi Alfa, menciptakan kesenjangan usia yang signifikan. Perbedaan ini tidak hanya terlihat dari gaya hidup, persepsi, dan pengalaman, tetapi juga dalam perilaku dan cara berkomunikasi. Fenomena ini dikenal sebagai generation gap atau kesenjangan generasi. Menyikapi tantangan ini, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menyelenggarakan webinar bertema “Menjembatani Generation Gap Antara Guru dan Siswa Melalui Keterampilan Sosial yang Baik” pada Sabtu, 18 November 2023. Webinar ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., serta Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rosalia, M.Psi. Acara ini diikuti oleh 200 guru dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia dan Timor Leste. Ketua KGSB, Ardyles Faesilio, yang akrab disapa Lio, menyampaikan bahwa kesenjangan generasi sering menjadi penghambat dalam pembelajaran. “Generation gap ini rawan akan konflik bila ditangani dengan kurang baik, termasuk perbedaan pemahaman antara guru dan murid. Hal ini sering menjadi hambatan dalam proses belajar-mengajar,” ujarnya. Memahami Dinamika Generasi di Kelas Perbedaan karakteristik antara guru dan murid sering kali memicu kesenjangan dalam pembelajaran. Siswa Gen Z, misalnya, cenderung menyukai sesi paralel, multi-tasking, dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap proses belajar karena akses luas terhadap informasi melalui berbagai platform. Sebaliknya, guru umumnya mengadopsi pendekatan belajar yang lebih terstruktur, bertahap, dan individu. Lebih jauh lagi, guru kadang-kadang kurang yakin bahwa murid-muridnya dapat belajar dengan maksimal saat melakukan banyak hal dalam satu waktu. Dalam hal ini, Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Nanda Rosalia menekankan bahwa guru perlu memahami bagaimana Gen Z memadukan kecakapan digital dalam kehidupan sehari-hari. “Gen Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal baru dan mengakses informasi dengan cepat. Sebagai pendidik, kita harus mampu mengimbangi dan mengarahkan mereka pada hal-hal yang positif,” paparnya. Namun, tantangan tidak hanya berhenti di situ. Gen Z juga menghadapi ancaman serius terhadap kesehatan mental. Mereka sering merasa takut gagal, memiliki tekanan tinggi untuk sukses, dan cenderung menghindari pengambilan keputusan karena rasa takut tersebut. Jika dibiarkan, hal ini dapat memicu depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Pentingnya Komunikasi dan Kolaborasi Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti menekankan bahwa komunikasi adalah kunci utama untuk mengatasi kesenjangan generasi. “Saling memahami lebih indah daripada saling menghakimi. Kolaborasi antar generasi perlu dijalin dengan membuka ruang untuk berbagi dan bekerja sama. Guru juga harus mengadopsi metode komunikasi yang sesuai dengan karakteristik generasi,” paparnya. Webinar ini menekankan pentingnya konsistensi dalam upaya menjembatani kesenjangan generasi. Guru diharapkan lebih memahami murid melalui penyesuaian teknologi, perspektif, dan perilaku. “Harapan kami, webinar ini dapat membuka perspektif baru bagi para guru dalam menumbuhkan pemahaman lintas generasi serta meminimalisir konflik yang muncul akibat kesenjangan generasi,” tutup Lio.
SAS dan Garda Ampuh, Rahasia Sukses Kab. Banyuwangi Atasi Angka Putus Sekolah
Program SAS adalah inovasi berbasis semangat berbagi yang melibatkan siswa untuk membantu rekan-rekan mereka yang kurang mampu, selaras dengan nilai-nilai kolaborasi dan kepedulian. Sejak 2011, program ini berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp26 miliar dan telah memberikan manfaat nyata bagi lebih dari 300 ribu siswa di Banyuwangi. Banyuwangi, 13 Oktober 2023 – Masalah putus sekolah masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan angka putus sekolah secara nasional dari 2019 hingga 2022, mencakup jenjang SD, SMP, hingga SMA. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, 76% keluarga mengakui bahwa putus sekolah terjadi akibat alasan ekonomi, dengan mayoritas (67%) disebabkan ketidakmampuan membayar biaya pendidikan, sementara sisanya yaitu 8,7% disebabkan anak harus mencari nafkah. Merespons permasalahan ini, Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Banyuwangi menciptakan dua program inovatif: Siswa Asuh Sebaya (SAS) dan Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh). Kedua program ini telah terbukti efektif dalam menekan angka putus sekolah. Sebagai dukungan, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar diskusi bertema “Mencegah Anak Putus Sekolah melalui Program Garda Ampuh dan SAS” pada Kamis, 12 Oktober 2023. Diskusi yang disiarkan melalui platform YouTube Live ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Lina Kamalin, S.Pd., M.Pd., Staf Ahli Dewan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, dan Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., Founder Rumah Guru BK sekaligus Widyaiswara Kemdikbud Ristek RI. Program SAS: Mengajarkan Kepedulian sejak Dini Program SAS dimulai pada tahun 2011 berdasarkan Keputusan Kepala Dispendik Kabupaten Banyuwangi No. 421/1939.a/KEP/429.101/2011 tentang program SiswaAsuh Sebaya (SAS) SD, SMP, dan SMA sederajat. Kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/182/KEP/429.101/2014 tentang program Siswa Asuh Sebaya.. Program ini melibatkan siswa untuk membantu teman-teman mereka yang kurang mampu dengan cara menggalang dana secara sukarela. Dana tersebut dikelola oleh sekolah dan dilaporkan secara transparan kepada Dinas Pendidikan. Staf Ahli Dewan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi dan Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, Lina Kamalin , S.Pd., M.Pd mengakui, tidak semua permasalahan pendidikan mampu ditangani oleh pemerintah daerah oleh karena itu pihaknya membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. “Program SAS ini merupakan inovasi yang menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan tangan pemerintah dalam membiayai pendidikan masyarakat,” ujarnya. Lina Kamalin mengungkapkan, hingga kini program SAS berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp26,68 miliar, dan membantu lebih dari 300 ribu siswa di Banyuwangi. “Program ini menjadi solusi atas keterbatasan pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan masyarakat,” ungkapnya. Pasca pandemi di tahun 2021, program ini dikembangkan dengan program Sekolah Asuh Sekolah. Tercatat dalam kurun satu tahun tersebut, ada 175 sekolah berperan sebagai sekolah asuh bagi 525 sekolah. Karena pencapaian tersebut, Program SAS mendapatkan beberapa penghargaan. Di antaranya MDS (Millennium Development Goals) Awards 2014, Penghargaan Cedas Berkarakter Kemendikbud RI 2020, TOP 12 Kategori Terbaik Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, Provinsi Jatim 2016 dan 99 Inovasi Terbaik Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) Kementerian PAN-RB 2017. Karena pencapaiannya, program ini telah direplikasi beberapa kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemdikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd., CEP, CHt., memberikan apresiasi tinggi terhadap inisiatif Program SAS. “Saya sangat kagum dengan program ini karena mampu menggugah dan melibatkan banyak partisipan, terutama anak-anak. Bayangkan, dengan koin-koin kecil yang mereka miliki, mereka belajar mandiri dan berbagi, hingga berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp26 miliar. Jika ditarik ke belakang sejak program ini dimulai pada 2011, kini mereka telah tumbuh menjadi individu dewasa. Percayalah, pengalaman berbagi ini menjadi modal besar dalam membentuk karakter kepedulian mereka dan mewariskan nilai-nilai kebaikan kepada generasi berikutnya,” ungkapnya. Founder KGSB, Ruth Andriani menambahkan, inti program SAS adalah semangat berbagi yang selaras dengan filosofi KGSB. “Selain karena kami concern dengan data angka putus sekolah yang masih memprihatinkan, melalui diskusi ini kami harap value berbagi yang menjadi landasan dari program SAS dapat ditiru dan menginspirasi para guru anggota KGSB,” pungkasnya. Garda Ampuh: ‘Memburu’ Anak Putus Sekolah Selain SAS, Pemkab Banyuwangi juga memiliki program Garda Ampuh yang berfokus pada menjemput dan mengembalikan anak-anak putus sekolah ke jalur pendidikan. Program ini dijalankan oleh tim khusus dari Dispendik Banyuwangi, bekerja sama dengan elemen masyarakat berlandaskan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 4 Tahun 2014 tentang Program Gerakan Masyarakat Pemberantasan Tributa dan Pengangkatan Murid Putus Sekolah (GEMPITA-PERPUS) Kabupaten Banyuwangi. Program Garda Ampuh menerapkan tiga skema utama untuk menuntaskan kasus putus sekolah: Pada Agustus 2023, jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Banyuwangi tercatat mencapai 11.289 anak. Berkat program Garda Ampuh, angka ini berhasil ditekan menjadi 5.664 anak pada September 2023. Program ini juga telah membawa Banyuwangi meraih penghargaan Innovation Government Award sebagai Kabupaten Terinovatif di Indonesia sejak 2018.